Abad 21 adalah era dimana informasi tersedia dengan sangat melimpah. Digitalisasi telah merambah hampir di seluruh aspek kehidupan, menyebabkan segala informasi bisa dengan mudah didapat dari mana saja dan kapan saja.
Anak-anak yang lahir di abad 21 adalah mereka yang sering disebut generasi platinum. Sebutan ini dipakai untuk menggambarkan bahwa anak-anak ini terlahir di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sudah serba mewah.
Penyebutan generasi baru ini juga untuk membedakan mereka dari generasi sebelumnya yaitu generasi milenial yang lahir sebelum tahun 2000.
Anak-anak generasi abad 21 terlahir dari para orangtua milenial yang mulai melek teknologi di usia remaja akhir atau malah di usia dewasa. Maka tak jarang, para orangtua milenial terkadang dibuat berdecak kagum pada anak-anak generasi abad 21. Meski masih usia balita, mereka sudah sangat lincah menggunakan gadget dan sejenisnya.
Ini jugalah yang saya alami sebagai orangtua dari anak generasi abad 21. Rasanya, saya sudah sangat baik beradaptasi di era yang serba digital ini. Paling tidak itulah yang saya dengar dari orang-orang yang lebih tua dari saya menyoal kemampuan penguasaan saya terhadap teknologi.
Namun, ketika mengamati anak saya yang lahir di tahun 2015, dan di usianya sekarang yang baru melewati usia balita, justru saya merasa kagum dengan kecepatan mereka dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi.
Anak saya bukanlah kanak-kanak yang kecanduan gadget. Saya dan istri sepakat untuk membatasinya dalam berinteraksi dengan gadget.
Tetapi kami juga tidak membuatnya anti terhadap gadget. Membuatnya tertutup dari dunia gadget dan internet, sama saja membuatnya tidak hadir dan relevan sebagai generasi yang sesungguhnya. Begitulah paling tidak kesepakatan saya dan istri menyoal anak dan dunia gadget.
Di awal tahun pelajaran Juli lalu, kami sempat gamang memutuskan apakah akan mengirimnya bersekolah tahun ini di tengah pandemi covid-19 yang masih berlangsung.