Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Belajar dari Korea Selatan, Tunda Pilkada hingga Kuartal Kedua 2021

30 September 2020   06:30 Diperbarui: 30 September 2020   07:34 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski 3000 Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) hampir dipastikan ditunda sesuai perintah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, namun pemerintah tetap memutuskan untuk melanjutkan penyelenggaran Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang.

Alasan penundaan Pilkades adalah sebagai upaya pencegahan Covid-19 karena faktor sulitnya melakukan pengawasan. Keputusan ini lantas menimbulkan banyak perdebatan, bagaimana mungkin terjadi perbedaan dasar putusan terkait penyelenggaraan Pilkades dan Pilkada?

Baik Pilkades maupun Pilkada, keduanya akan sama-sama melibatkan massa walaupun berbeda dari segi jumlah. Jika dihitung-hitung, pelibatan massa yang lebih besar justru sebenarnya akan terjadi pada proses Pilkada ketimbang Pilkades. Sehingga, faktor resiko penularan Covid-19 akan makin besar terjadi pada Pilkada.

Terkait dengan penyelenggaraan Pilkada, beberapa waktu lalu, Kapolri mengeluarkan maklumat terkait protokol kesehatan dalam pelaksaan Pilkada 2020 untuk menghindari terjadinya klaster baru Covid-19. Keempat hal penting dalam maklumat Kapolri tersebut adalah sebagai berikut, seperti yang dipublikasikan melalui polri.go.id.

Pertama, dalam pelaksanaan Pilkada, Kapolri mengingatkan untuk tetap mengutamakan keselamatan jiwa dengan tetap mematuhi semua kebijakan dan peraturan pemerintah terkait penanganan, pencegahan, serta protokol kesehatan.

Kedua, Penyelenggara Pilkada diwajibkan menerapkan semua protokol kesehatan yang berlaku yaitu kewajiban menggunakan masker, tetap menjaga jarak dan selalu mencuci tangan pakai sabun untuk menghindari infeksi virus.

Ketiga, Kapolri dengan tegas melarang membuat kerumunan berupa arak-arakan atau konvoi yang mengundang banyak massa.

Keempat, jika dilakukan pengerahan massa, maka jumlahnya tidak boleh melebihi batasan yang ditetapkan. Sesuai peraturan KPU N0 10/2020, maksimum 50 orang untuk pertemuan tatap muka/dialog dan debat umum, seta maksimal 100 orang untuk kampanye dalam bentuk rapat umum, kegiatan kebudayaan, olahraga dan lain-lain.

Pada dasarnya, jika keempat maklumat ini dapat dipatuhi dengan baik, sebenarnya kekuatiran bahwa Pilkada dapat menghasilkan klaster baru Covid-19 sangat mungkin dihindari. Namun, sepertinya budaya kita dalam pelaksanaan Pilkada belum siap untuk ini, khususnya terkait pengerahan massa.

Dalam dua hari massa kampanye saja, hingga senin (28/09/2020) Bawaslu telah mencatat terjadi 18 pelanggaran. Seperti dilaporkan CNN, 8 pelanggaran terjadi pada sabtu (26/09/2020) dan 10 pelanggaran terjadi pada minggu (27/09/2020).

Bentuk pelanggaran yang terjadi adalah tidak menerapkan protokol kesehatan secara ketat seperti tidak mengindahkan protokoler menjaga jarak. Termasuk pelanggaran terkait jumlah massa yang dilibatkan melebihi jumlah masksimum yang telah ditetapkan.

Terkait dengan pelanggaran yang terjadi, Bawaslu dikabarkan telah mengirimkan teguran tertulis. Namun, apakah bentuk teguran ini akan cukup efektif dilakukan mengingat kampanye ini akan berlangsung selama 71 hari dengan melibatkan ratusan paslon dari 270 daerah di seluruh Indonesia.

Sebenarnya, kita bukanlah satu-satunya negara yang akan menyelenggarakan pemilihan umum di masa pandemi ini. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang akan melaksanakan Pilpres pada 3 November 2020 ini.

Sebelumnya, negara tetangga kita Singapura juga telah melaksanakan Pemilu pada 10 Juli 2020 lalu, masih di tengah Pandemi yang masih berlangsung. Menarik untuk dilihat, apakah pelaksanaan Pemilu di Singapura berkorelasi langsung dengan terjadinya klaster baru Covid-19?

Seperti dilaporkan Kompas sebelumnya, menjelang pelaksanaan hari H Pemilu di Singapura, selalu terjadi penambahan kasus maksimum 200 per hari di negara tersebut. Namun, pasca pelaksanaan Pemilu, di akhir bulan Juli 2020, kasus baru yang dilaporkan melonjak hingga 900 kasus dalam sehari.

Padahal, Singapura melaksanakan Pemilu di saat kasus Covid-19 di negara tersebut sedang cukup terkendali, berbeda dengan kita yang justru akan melakukan Pilkada di saat peningkatan kasus baru Covid-19 sedang memuncak.

Soal penetapan waktu yang tepat, sebenarnya menjadi catatan baik dalam pelaksanaan Pemilu di Korea Selatan yang juga telah melaksanakan pesta demokrasi. Puncak penularan virus corona di Korea Selatan terjadi pada 29 Februari 2020 dengan 909 kasus dalam sehari.

Namun setelah tanggal ini, kasus baru di Korea Selatan terus mengalami penurunan. Pada hari pencoblosan, hanya dilaporkan 27 kasus baru, dan setelah hari pencoblosan, penambahan kasus baru tidak pernah melebihi 20 kasus per hari.

Selain soal penetapan waktu yang tepat, salah satu strategi yang dilakukan Komisi Pemilu Nasional Korea Selatan, yang dipercayai membuat negara tersebut berhasil melaksanakan Pemilu di tengah pandemi adalah soal durasi waktu pencoblosan. Ini dilakukan agar tidak terjadi penumpukan pemilih di TPS.

Selain itu, Komite Pemilihan Korea Selatan juga melakukan pemisahan jam pencoblosan bagi warga yang sehat dan warga yang sedang melaksanakan isolasi. Ini dilakukan untuk menghindari pertemuan antara pemilih sehat dan pemilih yang terinfeksi.

Dikabarkan pula, seluruh petugas di TPS mengenakan APD lengkap saat melayani warga. Penerapan protokol kesehatan juga diawasi dengan sangat ketat.

Secara teknis, pelaksanaan pemilu di masa pandemi memang terlihat sangat sulit untuk dilakukan, namun tidak ada pilihan lain jika negara tetap akan menyelenggarakannya saat ini.

Belum lagi soal biaya yang akan dikeluarkan. Penerapan protokoler secara ketat, termasuk penambahan waktu pemilihan, akan membuat lonjakan penambahan biaya. Padahal, negara kita sedang kesulitan secara ekonomi dan pemerintah sedang fokus pada penanganan ekonomi nasional.

Contoh baik dari Korea Selatan ini seharusnya jadi pelajaran berharga bagi pemerintah kita. Menyelenggarakan Pilkada saat ini, di mana kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya, bukan pilihan baik untuk dilakukan.

Pemerintah masih perlu berkonsentrasi menangani pandemi yang terjadi. PR berat pemerintah saat ini bukan hanya soal peningkatan kasus baru yang terus meningkat, tetapi juga soal pengendalian ekonomi nasional dimana kita sudah berada di pintu resesi.

Tetap memaksakan Pilkada di tahun 2020 ini akan sangat beresiko membuat suasana menjadi makin sulit. Apalagi kita soal kedisiplinan, masyarakat kita belum bisa melakukannya dengan baik.

Sebaiknya, pemerintah tetap berkonsentrasi pada penanganan Covid-19 dan pengendalian ekonomi nasional hingga akhir tahun ini dan tunda pilkada. Kita berharap vaksin sudah mulai diberikan sejak awal tahun 2021 dan prosesnya selesai dilakukan dalam 4 bulan.

Jika ini terjadi, saya percaya situasi di dalam negeri sudah sangat terkendali dengan baik. Dengan demikian Pilkada bisa saja dilaksanakan di kuartal kedua tahun 2021 mendatang sehingga pesta demokrasi ini bisa kita rayakan dan nikmati dengan euforia sukacita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun