Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Seni Menikmati Dinamika Pernikahan itu Seperti Presto Ikan, Bikin Duri Jadi Daging yang Lezat

5 Juli 2020   15:10 Diperbarui: 5 Juli 2020   20:59 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu saya sempat menuliskan artikel "Seni Merayakan Pernikahan Itu Seperti Makan Ikan, Ambil Dagingnya dan Buang Durinya". Artikel itu saya tuliskan sebagai refleksi merayakan ulang tahun pernikahan saya dan istri bulan lalu.

Menurut saya, membangun pernikahan yang sehat itu susah susah gampang. Bukan berarti ketika menuliskan ini pernikahan saya dan istri berjalan mulus tanpa ada kerikil apapun yang terjadi. Justru artikel-artikel yang saya tulis mengenai topik ini adalah reminder yang saya perlukan ketika menjalankan kehidupan pernikahan bersama istri.

Setiap kita tidak terlahir sebagai orang yang mahir dalam urusan pernikahan. Bahkan kita tidak pernah dipersiapkan khusus dalam pendidikan formal bagaimana memasuki dunia pernikahan seperti halnya memasuki dunia kerja. Kita perlu seni agar dinamika dalam kehidupan pernikahan berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang dirancang di awal.

Ilustrasi "ambil dagingnya dan buang durinya", sebenarnya sedang mengingatkan kita bahwa selalu ada "duri" yang perlu diwasdapi dalam kehidupan pernikahan antara suami dan istri. Jika kita tidak berhasil memisahkan "duri" dari "daging" dalam kehidupan pernikahan dan membuangnya ke tempat sampah, maka akan berpotensi besar menimbulkan persoalan di kemudian hari.

Hari ini, saya diingatkan kembali tentang seni berikutnya dalam dinamika kehidupan pernikahan, yaitu bagaimana mengubah "duri" menjadi "daging" yang bisa dinikmati dengan alat "presto pernikahan".

Disadari atau tidak, banyak orang ternyata tidak bisa membedakan yang mana "duri" dan yang mana "daging". Atau mungkin saja bisa membedakannya, tetapi memilih menikmati "duri" seperti halnya menikmati "daging". Alhasil, saat "duri" ini dipaksakan untuk dinikmati, justru akan membuatnya tersangkut dileher dan menimbulkan luka yang dapat menjadi masalah besar.

Atau bisa juga sudah tahu membedakan, tetapi ingin coba-coba. Wah, ini sebenarnya sangat berbahaya. Ibarat masuk ke dalam lumpur hidup, sekali masuk kesana maka kita akan ditarik makin dalam dan sangat sulit untuk keluar dari sana.

Pada dasarnya, setiap orang pasti tahu, bahwa "selingkuh" itu adalah "duri" yang harus dihindari. Namun ternyata, tidak sedikit juga yang coba-coba dengan harapan tidak ketahuan.

Awalnya merasa nyaman sebagai teman curhat, karena memang pada dasarnya setiap kita butuh sahabat yang bersedia mendengar setiap keluh kesah. Tetapi salah besar jika kita memilih teman curhat yang lawan jenis. Perasaan nyaman, lama-lama bisa jadi makin lengket, dan bukan tidak mungkin jadi teman tapi mesra dan akhirnya jadi selingkuhan.

Awalnya mungkin saja memang tidak pernah berniat untuk "selingkuh", tetapi pilihan yang kita lakukan lah yang telah mengarahkan kesana. Tidak ada manusia yang benar-benar imun dalam hal ini, setiap kita adalah makhluk yang lemah dan sangat mungkin untuk jatuh ke dalam lumpur itu. Maka hal terbaik yang harus kita lakukan adalah waspada dan menghindar karena kesadaran diri bahwa kita sangat lemah dalam hal ini.

Lalu bagaimana jika sudah terlanjur punya TTM tadi? Hal yang harus segera dilakukan adalah menuntaskan saat ini juga. Akuilah secara jujur pada pasangan, karena tetap menyimpannya justru akan menjadi bom waktu yang kapan saja dapat meledak.

Meski pilihan untuk jujur memang akan menyakitkan, tapi itu justru lebih baik dari pada menutup-nutupi. Sebagai pasangan yang disakiti, kita justru bersyukur jika pasangan kita bersedia jujur. Ingatlah bahwa "tidak ada gading yang tak retak". Karena itu mari kembali memulai dari "nol" dengan kembali memberikan kesempatan agar pasangan kita berubah dan membuktikan diri.

Hal menarik yang harus kita lakukan berikutnya adalah bagaimana memilah "duri" pernikahan yang dapat kita ubah menjadi "daging" yang dapat dinikmati. Tidak semua "duri" harus kita buang, ada juga "duri" yang dapat kita ubah seperti "daging" yang dapat dinikmati.

Jika setiap kelemahan pasangan adalah "duri" yang harus kita buang ke tong sampah, berbeda halnya dengan "konflik" antara suami dan istri. Konflik bukanlah sesuatu yang harus kita hindari di dalam kehidupan pernikahan. Hampir tidak mungkin rasanya jika pernikahan tanpa konflik atau cek cok.

Sepasang suami dan istri adalah dua orang yang berbeda yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Perbedaan karakter, budaya, pola asuh di keluarga terdahulu merupakan sumber-sumber yang dapat memicu konflik antara suami dan istri. Selagi konflik-konflik yang terjadi tidak menimbulkan masalah besar, inilah "duri" yang dapat kita ubah menjadi seperti "daging" yang dapat kita nikmati.

Loh, koq konflik dinikmati? Saya pikir, konflik yang sehat perlu terjadi di antara suami dan istri. Jika tidak terjadi konflik sama sekali, justru saya berpikir, jangan-jangan antara suami dan istri sedang suam-suam kuku, alias perang dingin. "Terserah mau ngapain", wah ini justru yang berbahaya, tidak lagi terjadi komunikasi antara suamin dan istri.

Jika suatu konflik terjadi, sesungguhnya ada sesuatu yang tidak sesuai harapan dari salah satu pihak di antara suami atau istri, atau bisa juga keduanya. Dalam hal ini, konflik menjadi cara menyatakan harapan yang tidak tersampaikan.

Jika konflik ini akhirnya terselesaikan dengan baik, justru kita akan makin memahami keinginan dan harapan pasangan kita. Bukankah hakikat hidup bersama sesungguhnya makin memahami pasangan luar dalam seiring berjalannya usia pernikahan? Justru sangat lucu, sudah berpuluh-puluh tahun hidup bersama dalam pernikahan, tetapi kita tidak kenal persis karakter dan sifat pasangan kita.

Dalam hal ini, seni mengelola konflik yang terjadi dalam pernikahan itu seperti "presto ikan" yang mengubah "duri" menjadi seperti "daging" yang enak disantap, demikian pula kita mengubah konflik menjadi alat agar makin mengenal antara suami dan istri.

Secara umum, konflik dalam pernikahan bisa terjadi dalam dua tingkatan, konflik ringan dan konflik berat. Konflik ringan mungkin saja sering terjadi antara suami dan istri.

Salah satu penelitian mengatakan, pasangan paling "happy" sekalipun, ternyata mengalami 1 kali konflik dalam 5 hari. Konflik-konflik ringan ini biasanya akan dapat terselesaikan dengan sendirinya saat kembali terbangun komunikasi kembali di antara keduanya.

Bagaimana jika terjadi konflik berat? Dalam hal ini mungkin diperlukan pihak ketiga, yaitu konselor yang dapat menolong dalam penyelesaian konflik yang terjadi.

Keputusan ini tentu saja setelah muncul kesepakatan dari keduanya, bahwa konflik yang ada sedemikian berat dan sulit untuk diselesaikan hanya berdua, sehingga butuh konseling dengan tujuan menyelesaikan konflik yang ada.

Namun, terkadang kita sering lupa, bahwa sesungguhnya pihak ketiga yang harusnya terus dilibatkan sejak awal dalam kehidupan pernikahan adalah Tuhan. Kita sering lupa, bahwa Tuhanlah yang telah berinisiatif di awal mempertemukan seorang laki-laki dan perempuan, menumbuhkan cinta di antara keduanya, dan meyakinkan untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Kita sering lupa dan mengatakan bahwa "kehidupan pernikahan ini hanya milik saya dan pasangan saya". Ini hal yang harus segera kita perbaiki.

Ingatlah, bahwa secara natur, suami dan istri keduanya adalah makhluk yang sangat lemah dan rentan melakukan kesalahan. Karena itu, kita akan selalu membutuhkan Tuhan untuk menguatkan, dan Tuhan yang menyatakan kesalahan dan memperbaiki yang keliru.

Tidak melibatkan Tuhan dalam kehidupan pernikahan sesungguhnya kerugian besar yang dilakukan pasangan suami dan istri. Justru dengan melibatkan Tuhan, kita seperti berbagi "kuk" atau pikulan beban berat untuk dipikul suami istri bersama dengan Tuhan yang kuat dan mampu menopang beban terberat sekalipun.

Karena itu, ingatlah selalu Tuhan dan melibatkanNya dalam seluruh dinamika kehidupan pernikahan yang terjadi. Jadikanlah pertolongan dari Tuhan sebagai alat "Presto Pernikahan" untuk mengubah "Duri" yang ada menjadi "Daging" yang lezat untuk dinikmati bersama.

Selamat mempelajari seni menikmati dinamika pernikahan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun