Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Posting Rapor Anak di Medsos, "Pamer" kah?

20 Juni 2020   18:29 Diperbarui: 21 Juni 2020   20:02 1430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat (19/06/2020) dan sabtu hari ini, sebagian besar sekolah membagikan rapor siswanya. Meskipun pembagian rapor kali ini sedikit berbeda dari biasanya karena pandemi covid-19, antusias orangtua tetap tinggi untuk mengambil rapor.

Sebagian sekolah memilih untuk membagikan rapor secara online. Guru wali kelas cukup mengirimkan foto rapor siswa ke orangtua atau wali murid melalui Whatsapp. Ini dilakukan untuk tetap menghindari pertemuan fisik karena masa pandemi masih berlangsung.

Namun, tidak sedikit juga sekolah yang tetap mengundang orangtua atau wali murid datang ke sekolah untuk mengambil buku rapor siswa. Tentu saja dengan menerapkan protokol kesehatan semisal guru dan orangtua wajib menggunakan masker, dan menjaga jarak, serta mencuci tangan di tempat-tempat yang disediakan oleh sekolah.

Untuk siswa yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, misalkan dari TK ke SD atau dari SD ke SMP, dan sebagainya, maka memang tidak ada pilihan lain. Orangtua harus tetap datang ke sekolah untuk mengambil rapor sekaligus menyelesaikan seluruh administrasi untuk keperluan anak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Buku rapor adalah suatu cara yang lazim digunakan di Indonesia untuk mengukur kinerja siswa dalam satu semester. Umumnya laporan ini diberikan oleh sekolah kepada siswa melalui guru wali kelas. Dalam satu tahun, wali kelas akan membagikan rapor sebanyak dua kali, rapor semester satu dan rapor semester dua.

Pembagian rapor di semester dua atau semester genap seperti sekarang, di dalam rapor siswa tidak hanya disajikan nilai siswa untuk setiap mata pelajaran yang diikuti. Rapor kali ini juga mencantumkan keputusan sekolah terkait apakah siswa yang bersangkutan naik kelas atau tidak.

Ketika membagikan rapor, wali kelas akan menyampaikan penilaian secara umum terkait seorang siswa kepada orangtuanya. Biasanya penyampaian lisan akan lebih difokuskan pada sikap dan karakter siswa selama di sekolah.

Namun bagi siswa yang dirasakan cukup kesulitan untuk mengikuti pembelajaran secara akademis, wali kelas juga akan menyampaikan catatan-catatan berupa evaluasi untuk dilakukan agar lebih baik di tahun ajaran yang baru.

Bagi orangtua, nilai atau angka-angka yang tertera di rapor menjadi tolak ukur keberhasilan pembelajaran anak di sekolah. Apalagi jika tertera rangking atau peringkat juara anak di rapor. Orangtua akan merasa bangga, jauh lebih bangga dari pencapaian peningkatan sikap dan karakter baik dari anak.

Maka tak jarang, di masa-masa pasca penerimaan rapor seperti sekarang ini, kita akan sering melihat orangtua yang memposting foto rapor anaknya di medsos, entahkah di Facebook, Instagram atau media lainnya. Meski secara redaksional seperti ungkapan syukur orangtua atas pencapaian anak, tetapi terkadang timbul kesan seperti pamer atau wujud kesombongan orangtua atas pencapaian rapor anak.

Seandainya nilai atau rapor yang diperoleh anak tidak cukup mentereng, hanya berkisar di angka-angka batas Kriteria Ketuntasan Minimal atau KKM, apakah orangtua tetap akan memposting rapor anak?

Sebagai guru di sekolah, saya sebenarnya tidak setuju orangtua memposting foto rapor anak dan mengumbarnya di media sosial. Meskipun kita bisa berbeda pendapat, izinkan saya mengungkapkan alasan terkait ini dari kacamata saya sebagai seorang guru.

Pertama, dengan memposting rapor, orangtua jadi kehilangan esensi dari rapor itu sendiri.

Seperti saya sampaikan di atas, memang budaya pendidikan di Indonesia sudah menekankan pada pencapaian angka-angka sejak dulu. Seorang anak dengan nilai rata-rata rapor yang tinggi dianggap sebagai anak pintar dan unggul. Padahal, kita sebenarnya meyakini tentang kecerdasan yang beragam atau multiple intelligences.

Sebagai guru, saya menyarankan orangtua melihat potensi dan badang minat anak dari rapor yang diberikan. Bukan malah sibuk pamer rapor anak di media sosial. Kesempatan bertemu dengan wali kelas secara langsung harusnya dimanfaatkan orangtua untuk menggali potensi anak dengan baik.

Adalah tanggung jawab orangtua menemukan potensi dan bakat anak sejak dini. Orangtua yang mengenali dengan baik potensi dan bakat anak akan dapat memfasilitasi anak untuk keperluan pengembangan diri anak agar tumbuh makin optimal. Dan nilai rapor dapat dijadikan alat untuk mengkonfirmasi hal ini.

Misalkan orangtua yang merasakan ketertarikan anak pada dunia seni sejak kecil. Di rumah anak terlihat senang melukis, menari, menyanyi atau aktivitas seni lainnya. Ketika melihat rapor anak, orangtua dapat fokus pada capaian nilai mata pelajaran seni ini, apakah selaras antara yang terlihat sehari-hari dengan nilai yang tertera di rapor. Jika ada kesenjangan yang terjadi, maka hal ini yang harus digali dan dicarikan solusinya. Apakah anak tidak bisa mengembangkan potensi dan bakat seninya selama di sekolah?

Demikian pula anak yang dalam banyak mata pelajaran nilai rapornya rata-rata sangat menonjol. Tugas orangtua justru makin berat untuk menemukan potensi dan bakat anak. Harusnya orangtua sibuk berdiskusi dengan wali kelas untuk menemukan potensi dan bakat anak yang sesungguhnya, bukan malah berpuas diri dengan nilai rapor lalu mengumbarnya di media publik.

Kedua, dengan memposting rapor, orangtua mengajarkan kesombongan kepada anak.

Bagi saya sebagai guru, nilai rapor sebenarnya bukan untuk dikonsumsi oleh publik. Nilai rapor bersifat pribadi dan harusnya menjadi pembicaraan internal antara guru wali kelas, murid dan orangtua.

Menurut saya, kebiasaan orangtua untuk posting nilai rapor anak adalah wujud kesombongan. Coba saja jika nilai rata-rata rapor anak hanya pas-pasan, masihkah orangtua mau memamerkannya? Saya tidak yakin.

Orangtua tidak perlu menunjukkan kepintaran anak dengan memposting lembar rapornya. Dengan melakukan ini, orangtua sedang menunjukkan dan mengajarkan karakter sombong kepada anak. Ini bisa jadi bahaya, anak akan tumbuh menjadi seorang yang sombong dan sulit untuk bersikap rendah hati.

Lagi pula, orangtua yang bersikap demikian sesungguhnya tidak sedang berempati dengan anak-anak lain yang mungkin tidak sebagus itu nilai rapornya. Orangtua lain yang melihat postingan yang demikian bukan tidak mungkin akan merasakan kecil hati dan akan membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain. Ini akan sangat berbahaya bagi psikologis anak tersebut.

Melalui tulisan ini, saya mengajak orangtua untuk memahami kembali esensi sebenarnya dari rapor anak. Mari stop memposting rapor anak di medsos! Mari fokus untuk mengevaluasi dan mengarahkan anak agar menjadi lebih baik di tahun ajaran mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun