Seandainya nilai atau rapor yang diperoleh anak tidak cukup mentereng, hanya berkisar di angka-angka batas Kriteria Ketuntasan Minimal atau KKM, apakah orangtua tetap akan memposting rapor anak?
Sebagai guru di sekolah, saya sebenarnya tidak setuju orangtua memposting foto rapor anak dan mengumbarnya di media sosial. Meskipun kita bisa berbeda pendapat, izinkan saya mengungkapkan alasan terkait ini dari kacamata saya sebagai seorang guru.
Pertama, dengan memposting rapor, orangtua jadi kehilangan esensi dari rapor itu sendiri.
Seperti saya sampaikan di atas, memang budaya pendidikan di Indonesia sudah menekankan pada pencapaian angka-angka sejak dulu. Seorang anak dengan nilai rata-rata rapor yang tinggi dianggap sebagai anak pintar dan unggul. Padahal, kita sebenarnya meyakini tentang kecerdasan yang beragam atau multiple intelligences.
Sebagai guru, saya menyarankan orangtua melihat potensi dan badang minat anak dari rapor yang diberikan. Bukan malah sibuk pamer rapor anak di media sosial. Kesempatan bertemu dengan wali kelas secara langsung harusnya dimanfaatkan orangtua untuk menggali potensi anak dengan baik.
Adalah tanggung jawab orangtua menemukan potensi dan bakat anak sejak dini. Orangtua yang mengenali dengan baik potensi dan bakat anak akan dapat memfasilitasi anak untuk keperluan pengembangan diri anak agar tumbuh makin optimal. Dan nilai rapor dapat dijadikan alat untuk mengkonfirmasi hal ini.
Misalkan orangtua yang merasakan ketertarikan anak pada dunia seni sejak kecil. Di rumah anak terlihat senang melukis, menari, menyanyi atau aktivitas seni lainnya. Ketika melihat rapor anak, orangtua dapat fokus pada capaian nilai mata pelajaran seni ini, apakah selaras antara yang terlihat sehari-hari dengan nilai yang tertera di rapor. Jika ada kesenjangan yang terjadi, maka hal ini yang harus digali dan dicarikan solusinya. Apakah anak tidak bisa mengembangkan potensi dan bakat seninya selama di sekolah?
Demikian pula anak yang dalam banyak mata pelajaran nilai rapornya rata-rata sangat menonjol. Tugas orangtua justru makin berat untuk menemukan potensi dan bakat anak. Harusnya orangtua sibuk berdiskusi dengan wali kelas untuk menemukan potensi dan bakat anak yang sesungguhnya, bukan malah berpuas diri dengan nilai rapor lalu mengumbarnya di media publik.
Kedua, dengan memposting rapor, orangtua mengajarkan kesombongan kepada anak.
Bagi saya sebagai guru, nilai rapor sebenarnya bukan untuk dikonsumsi oleh publik. Nilai rapor bersifat pribadi dan harusnya menjadi pembicaraan internal antara guru wali kelas, murid dan orangtua.
Menurut saya, kebiasaan orangtua untuk posting nilai rapor anak adalah wujud kesombongan. Coba saja jika nilai rata-rata rapor anak hanya pas-pasan, masihkah orangtua mau memamerkannya? Saya tidak yakin.