Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Tagar "Indonesia Terserah" dan The Overload Syndrome

20 Mei 2020   07:45 Diperbarui: 15 November 2020   11:39 2960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas medis bersiap di ruang perawatan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). (Foto: KOMPAS.com/HERU SRI KUMORO)

Beberapa hari ini, "Indonesia Terserah" banyak dibicarakan dimana-mana. Tidak hanya di media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook, para kompasianer pun turut meramaikan tagar ini.

Seperti kita ketahui bersama, tagar "Indonesia Terserah" pada awalnya disuarakan oleh teman-teman paramedis yang bekerja di garda terdepan merawat pasien corona. Dengan berpakaian APD lengkap, mereka mengunggah foto diri dengan memegang secarik kertas bertuliskan #IndonesiaTerserah.

Berbagai reaksipun muncul terkait tagar ini. Banyak yang turut berempati, tetapi tidak sedikit pula yang kesal hingga mencaci maki.

Beberapa sahabat medsos saya menilai, sikap dari teman-teman paramedis ini menunjukkan kontra profesionalitas sebagai tenaga medis. "Bukankah mereka sudah mengangkat sumpah sebagai petugas medis?", beberapa teman mengkritisi tagar ini dengan mengaitkan sumpah jabatan seorang dokter dan perawat.

Yang lainnya menilai, sikap ini hanya soal cari perhatian. Dengan membuat #IndonesiaTerserah, dan melambungkannya menjadi trending topic, membuat dunia jadi berfokus perhatian pada dunia medis dan prosfesi yang ada di dalamnya.

Namun, ada juga yang berespon dengan sikap empati. Mencoba menyelami apa yang dirasakan oleh teman-teman paramedis, kelelahan yang bercampur dengan kekecewaan karena melihat sikap masyarakat yang mulai kendor dan tak lagi mengikuti protokoler PSBB secara ketat.

Sebagaimana diketahui, tagar "Indonesia Terserah" ini muncul berbarengan dengan infromasi padatnya pintu antrian masuk bandara serta mulai ramainya pasar-pasar dan pusat perbelanjaan dikunjungi masyarakat menjelang lebaran tiba.

Ditambah lagi isu yang berkembang bahwa Pemeritah akan melakukan pelonggaran PSBB. Entah dari mana isu itu mulai muncul, yang jelas saya sendiri tidak pernah mendengar langsung niat pemerintah akan melonggarkan PSBB. Justru, dalam rapat terbatas selasa (19/05/2020), Presiden kembali menekankan pentingnya penerapan protokoler kesehatan dan pemahaman penerapan PSBB bagi masyarakat.

Saya jadi berpikir kemungkinan terburuk, bagaimana seandainya teman-teman paramedis menyerah dan akhirnya mogok kerja secara serentak? Tak terbayangkan oleh saya bagaimana nasib para pasien corona jika petugas medis kita akhirnya give-up dan lepas tangan.

Namun saya percaya, bahwa tagar ini hanyalah luapan kekesalan sesaat. Tujuannya untuk mengingatkan kita kembali agar terus disiplin, terutama saat-saat memasuki hari besar Idul Fitri.

Percayalah, dari hati mereka yang paling dalam, semangat melayani dan kasih mereka kepada orang-orang sakit masih tetap kuat, dan kita tidak perlu ragu untuk itu.

Namun, saya mencoba merenungkan makna tersembunyi di balik tagar itu. Mungkinkah teman-teman medis kita mengalami "The Overload Syndrome"?

Apa itu "The Overload Syndrome"? Secara sederhana, The Overload Syndrome berarti sindrom kelebihan beban. Sindrom ini terjadi ketika seseorang melewati batas-batas yang mampu ditanggungnya.

The Overload Syndrome bukanlah hal yang menyehatkan. Ini sama sekali bukan karena seseorang tidak mau bekerja lebih keras lagi, tetapi segala sesuatu yang terlalu banyak dan berlebih, memang tidak baik dan tidak sehat.

Masalahnya bukan pada bebannya. Beban adalah sesuatu yang baik. Justru kita akan merasa bosan dan merasa tidak berguna jika tanpa beban. Masalahnya adalah pada kelebihan.

Lalu kelebihan beban apakah yang mungkin dialami oleh teman-teman medis kita? Menurut saya ada dua hal yang mungkin saja membuat teman-teman medis mengalami The Overload Syndrome.

Pertama, jumlah orang yang terkena corona terus meningkat, sementara jumlah petugas medis tidak bertambah, bahkan bisa dibilang malahan berkurang. Ini terkait dengan beberapa dokter dan perawat yang meninggal dunia karena terkena virus corona.

Kondisi ini memaksa sejumlah tenaga medis untuk lembur kerja. Bisa dibilang, tak ada lagi day off bagi dokter dan perawat yang bertugas di Rumah Sakit khusus Covid.

Tak dapat dipungkiri, semua orang di muka bumi ini sama, kita semua butuh tidur dan beristirahat. Waktu kerja yang berlebih, akan merampas hak untuk tidur dan beristirahat. Saya banyak mendengar, selama pandemi ini terjadi, banyak petugas medis yang sangat kekurangan waktu tidur dan beristirahat. Bisa tidur 2-3 jam saja setiap malam adalah suatu anugerah besar.

Selama bekerja, teman-teman medis ini harus mengenakan APD lengkap dan menahan diri untuk tidak makan. Memasukkan makanan di ruang yang sudah terpapar virus tentu harus dihindari, itu sama saja membuat virus dengan mudah masuk ke dalam tubuh.

Mereka juga harus menggunakan popok, agar tak bolak balik ke toilet dan membuka APD-nya hanya sekadar untuk buang air kecil. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan mereka mengenakan APD yang gerah dan tidak nyaman itu selama jam kerja.

Mungkin memang ada beberapa orang yang luar biasa. Orang-orang yang kelihatannya tak pernah merasa letih. Mereka bisa saja kuat hanya dengan tidur dua jam saja selama bekerja 24 jam.

Tetapi bukan berarti lalu kita menyalahkan orang yang tidak memiliki kekuatan yang sama seperti itu. Karena itulah batas mereka. Jika batas itu dipaksa untuk dilanggar, maka akan terjadi kelebihan beban kerja, menjadi overload.

Kedua, kelebihan waktu bekerja menyebabkan sensitivitas meningkat. Tidak lelah secara fisik bukan berarti tidak mengalami keletihan secara emosi. Jika ini keletihan emosi terus terjadi dan meningkat, ini hanya soal bom waktu yang suatu saat akan meledak.

Teman-teman medis juga punya keluarga yang mereka rindukan, sama seperti kita pada umumnya. Tidak jarang, mereka harus mengorbankan waktu bersama keluarga demi shift jaga pasien yang terus bertambah.

Terkadang setelah seharian bekerja, mereka harus mengisolasi diri secara mandiri saat pulang ke rumah. Bercengkerama bersama keluarga yang seharusnya menjadi penawar lelah, harus ditahan karena kekhawatiran dapat menularkan virus.

Kekesalan makin memuncak, tatkala menyaksikan justru masyarakat di luar mulai bebas seakan tak peduli, dan pemerintah sepertinya jadi kurang tegas. Akhirnya perasaan kesal dan marahpun muncul, lalu burn out, kelebihan beban pikiran, menjadi overload.

Terkadang kita berpikir terlalu naif, bukankah itu tugas mereka? Sama seperti covid-19, The Overload Syndrome pun merupakan virus yang tak berdasarkan jenis pekerjaan. Ia menyerang siapa pun tanpa pandang bulu.

Para petugas medis sangat mungkin mengalami Overload Syndrome sama seperti saat kita mengalami serangan virus corona yang tengah menjangkiti kota. Mereka memiliki batas-batas dan kerentanan yang sama seperti orang-orang lain pada umumnya.

Lalu saran apa yang bisa kita berikan pada teman-teman medis kita?

Ada tiga kategori perubahan yang perlu kita pikirkan. Pertama, hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Kedua, hal-hal yang kita harap bisa diubah. Ketiga, hal-hal yang harus kita ubah.

Hal pertama dan kedua berkaitan dengan orang lain. Banyak hal dalam kehidupan yang tidak akan berubah. Kalaupun hal tersebut kita pikir bisa diubah, namun sering sekali kita tidak punya daya untuk melakukannya.

Kita tidak bisa mengubah karaker dan perilaku seseorang hanya karena alasan tidak suka. Meskipun karakter dan perilaku seseorang itu kelihatannya sangat tidak menyenangkan, kita tidak punya hak veto untuk membuat ia berubah, yang bisa kita lakukan hanya sebatas berharap ia berubah.

Terkait banyak orang yang sepertinya mulai longgar, lalu dengan santai pergi ke pasar untuk berbelanja, kita tidak bisa memaksa mereka untuk tetap di rumah saja. Apalagi kalau memikirkan nasib para pedagang di pasar, yang berharap mengais rezeki dari orang-orang yang datang berbelanja, tentu tak adil rasanya jika kita tetap memaksa.

Kita hanya bisa berharap, mereka mematuhi protokoler kesehatan yang berlaku, dan petugas pasar terus mengingatkan, agar resiko penularan semakin kecil.

Berkaitan dengan karakter dan perilaku seseorang ini, mungkin respon yang terbaik adalah menerima keberadaanya dengan waspada.

Fokus kita harus pada hal ketiga, yaitu hal-hal yang harus kita ubah. Jika kita tidak bisa mengubah orang lain, maka yang harus kita ubah adalah kasih kita kepada orang lain.

Kelebihan beban harus diimbangi dengan memperbesar rasa mengasihi dan melayani. Makin besar kelebihan beban yang dialami, sikap mengasihi dan melayani harus makin besar lagi.

Tidak ada formula khusus bagaimana memperbesar sikap mengasihi dan melayani. Ini terkait komitmen untuk memfokuskan diri. Kalau kita tidak berkomitmen, kehidupan kita akan menjadi encer dan mudah beralih perhatian.

Sebagai petugas medis, panggilan hidup saudara adalah mengasihi dan melayani. Jangan berfokus pada masyarakat dengan kesalahan dan kedegilannya. Biarlah Tuhan yang mengurusi hal itu.

Berfokuslah pada tugas mulia yang sedang saudara-saudara emban, baik sebagai dokter maupun perawat. Tugas saudara adalah sumber sukacita saudara. Jika saudara setia dan tetap berfokus, maka upah yaitu "kemuliaan" akan saudara terima, dari Tuhan, Sang Empunya kehidupan.

Semoga teman-teman medis bisa mengatasi The Overload Syndrome yang terjadi, dan tetap semangat melayani.

Untuk semua masyarakat Indonesia, mari belajar menghargai setiap perjuangan mereka dengan tetap patuh pada protokoler kesehatan dan menerapkan aturan PSBB yang berlaku. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun