Menuju tahun politik 2024, sejumlah pengamat telah mulai mengkaji kembali kinerja pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, dengan tujuan agar pemerintah berikutnya dapat mengoptimalkan pencapaian yang sudah tercapai dan mengevaluasi aspek-aspek yang masih perlu diperbaiki. Salah satu wilayah yang kerap tidak mendapatkan perhatian memadai dalam evaluasi kinerja pemerintah adalah Papua Barat, provinsi yang memiliki persentase penduduk miskin kedua terbesar setelah Provinsi Papua. Dengan memeriksa sejumlah indikator nasional strategis sejak tahun 2014, kita dapat mengevaluasi kinerja pemerintah di Provinsi Papua Barat.
Kemiskinan
Kemiskinan adalah indikator strategis utama dalam mengevaluasi kinerja pemerintah terhadap Provinsi Papua Barat, yang merupakan provinsi kedua terendah dalam tingkat kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dengan menggunakan persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.Â
Pada Maret 2014, tercatat bahwa 27,13 persen penduduk Papua Barat hidup di bawah garis kemiskinan, dengan garis kemiskinan sekitar Rp.416.158 perkapita per bulan. Artinya, jika sebuah keluarga beranggotakan 4 orang (2 orang tua dan 2 anak) memiliki penghasilan Rp.1.000.000 per bulan, mereka akan dianggap miskin karena pendapatan perkapita mereka, yaitu Rp.250.000, berada di bawah garis kemiskinan.Â
Selama rentang waktu 2014 hingga 2022, persentase penduduk miskin di Papua Barat cenderung menurun, meskipun terdapat fluktuasi kecil pada tahun 2017 dan sedikit peningkatan pada tahun 2020 dan 2021, mungkin karena dampak pandemi COVID-19. Namun, pada bulan September 2022, persentase penduduk miskin di Papua Barat masih mencapai 21,43 persen.Â
Penurunan ini tetap memerlukan perhatian khusus, karena angka ini masih jauh di atas persentase penduduk miskin nasional yang sudah berada pada satu digit, yakni 9,57 persen pada bulan September 2022.
Pengangguran
Pertimbangan utama dalam melihat pengangguran adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Semakin rendah TPT, semakin sedikit pengangguran dalam angkatan kerja. Pada Agustus 2014, TPT Provinsi Papua Barat adalah sekitar 5,02 persen, dan pada Agustus 2022, angka ini meningkat menjadi 5,37 persen. Terjadi kenaikan pengangguran sekitar 0,35 persen dalam periode 2014 hingga 2022. Jika diperinci, terdapat peningkatan signifikan dalam TPT Papua Barat pada Agustus 2015, mencapai 8,08 persen (naik 3,06 persen dibandingkan dengan Agustus 2014). Pandemi COVID-19 juga berdampak pada tahun 2020, menyebabkan peningkatan TPT sebesar 0,37 persen dibandingkan dengan tahun 2019.Â
Namun, dari tahun 2015 hingga 2022, TPT Papua Barat terus menurun, mencapai 5,37 persen pada tahun 2022. Meskipun ada kenaikan pengangguran dalam periode 2014 dan 2022, pemerintah telah berupaya keras untuk mengurangi pengangguran yang naik drastis hingga 8,08 persen pada tahun 2015, yang kemudian turun menjadi 5,37 persen pada tahun 2022. Tingkat TPT di Papua Barat masih dapat dianggap "baik" karena berada di bawah tingkat TPT nasional sekitar 5,86 persen pada tahun 2022.
 
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan kualitas hidup penduduk. IPM mengukur kualitas hidup manusia berdasarkan tiga dimensi utama, yaitu kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. IPM dibagi menjadi tiga kategori: Sangat Tinggi jika IPM ≥ 80, Tinggi jika IPM di antara 70 hingga 79, Sedang jika IPM di antara 60 hingga 69, dan Rendah jika IPM ≤ 60.
IPM Provinsi Papua Barat telah secara konsisten meningkat setiap tahun sejak 2014 hingga tahun 2022, menunjukkan peningkatan dalam kualitas hidup penduduk Papua Barat. Pada tahun 2014, IPM Papua Barat adalah 61,28, dan meningkat menjadi 65,89 pada tahun 2022. Meskipun terdapat peningkatan, Papua Barat masih tetap berada dalam kategori IPM Sedang, yang merupakan kategori yang sama sejak 2014 hingga 2022.
Ekonomi
Untuk melihat perkembangan ekonomi suatu wilayah, ukuran yang paling tepat adalah Pertumbuhan Ekonomi, yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah. Pertumbuhan PDRB ini diukur dengan harga konstan untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi murni tanpa terpengaruh oleh perubahan harga. Dalam periode 2014 hingga 2022, terdapat tiga fase berbeda dalam laju pertumbuhan PDRB Papua Barat.Â
Pertama, dari tahun 2014 hingga 2018, pertumbuhan PDRB cenderung stabil, berkisar antara 4-6 persen setiap tahunnya. Kedua, dari tahun 2018 hingga 2021, terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai kontraksi ekonomi di Papua Barat. Dimulai pada tahun 2019, pertumbuhan melambat menjadi hanya positif 2,66 persen, dan mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan 2021 ketika terjadi pandemi COVID-19, yang menyebabkan kontraksi ekonomi menjadi negatif 0,76 persen pada tahun 2020 dan negatif 0,51 persen pada tahun 2021. Fase ketiga adalah tahun 2022, di mana terjadi pemulihan ekonomi di Papua Barat, ditandai dengan pertumbuhan positif kembali dalam laju PDRB.
Dari sejumlah indikator strategis nasional di atas, terlihat bahwa diperlukan upaya bersama untuk memajukan Papua Barat. Papua Barat bukanlah wilayah terpinggirkan, melainkan bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Pembangunan, baik dalam segi fisik maupun sosial, telah berlangsung di seluruh Indonesia, termasuk di Papua Barat. Pembangunan yang sudah ada seharusnya ditingkatkan dan diperbaiki lebih lanjut oleh pemerintah yang akan datang. Inovasi dan pemikiran yang canggih juga harus diterapkan di Papua Barat guna mendorong kemajuan holistik di wilayah tersebut. Pembangunan Papua Barat tidak boleh berhenti di sini, dan perhatian serta visi dari pemerintah yang akan datang harus tetap mengikuti prinsip pemerataan pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H