Mohon tunggu...
Jose Dewa
Jose Dewa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi mendaki dan berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komunikasi antara Imam dan Umat Katolik di Indonesia

1 Maret 2023   12:29 Diperbarui: 1 Maret 2023   12:35 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Komunikasi merupakan bagian integral dalam hidup manusia sebagai mahluk sosial. Tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa pernah berkomunikasi dengan sesamanya manusia. Komunikasi sendiri dimengerti sebagai hubungan seseorang dengan orang lain atau hubungan seseorang dengan sekelompok orang atau sebaliknya baik secara personal maupun kelembangaan sehingga pesan yang disampaikan bisa difahami atau dimengerti. 

Dalam menyampaikan suatu pesan atau informasi, manusia dapat saling membangun demi kehidupan yang lebih baik. Hal ini berlaku dalam setiap aspek kehidupan manusia baik itu dalam keluarga, pekerjaan, studi hingga rohani. Demikian yang terjadi di dalam Gereja Katolik. 

Sebagai umat Katolik, kerap kali kita berkomunikasi dengan para Imam yang adalah sosok pemimpin bagi kita. Tidak jarang kita membicarakan hal-hal dalam setiap sendi kehidupan kita kepada diri seorang imam. Imam juga menjadi sosok panutan bagi kita umat Katolik khusunya di Indonesia. Selain itu, Gereja sebagai ibu yang baik juga memberikan kita kesempatan untuk mengembangkan diri lewat berbagai macam kegiatan yang diadakan di dalamnya. Banyak dari umat yang tak jarang terlibat aktif dalam kegiatan Gerejawi seperti Orang Muda Katolik, Paduan Suara maupun panitia-panita khusus. 

Dalam kegaitan yang tergolong organisasi ini, komunikasi antar anggota sangat penting terlebih komunikasi kepada imam yang biasanya menjadi moderator suatu organisasi. Ironisnya tidak jarang ada oknum-oknum imam yang membuat kegiatan komunikatif antar umat dan dirinya menjadi tidak nyaman, menyebalkan bahkan rusak. Contoh nyatanya terdapat sebuah kasus yang diangkat dalam sebuah buku berjudul "Gereja Warteg: Refleksi 200 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta" yaitu tentang diri seorang imam yang otoriter, tidak mau mendengarkan masukan dari umatnya, tidak terbuka dan berindak menyerang perasaan umat lewat perkataannya yang menyakitkan. Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan semangat umat dalam melayani Gereja dan bertahan dalam imannya. Melihat hal ini, lalu apa yang diharapkan umat Katolik terhadap sosok imam yang notabene adalah pemimpin mereka?

           

            Beberapa hal yang sepatutnya diperhatikan dalam kegiatan komunikatif antara imam dan umat Katolik :

  • Pertama : Sebelum beranjak ke jenjang komunikatif antara imam dan umat, seorang imam selayaknya menghargai nilai-nilai kepersonalan umat sebagai pribadi yang utuh. Pribadi yang utuh berarti dalam diri manusia terdapat persatuan antara dimensi jasmani dan dimensi rohani. Dimensi rohanilah yang membuat setiap umat memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing. Melalui dimensi ini setiap pribadi umat mampu menentukan pilihan yang berbeda, memiliki watak yang berlainan, serta menghasilkan ide-ide dan pikiran yang mengaggumkan[1]. Selain itu, umat Allah adalah manusia biasa. Sebagai manusia, Allah menganugerahkan mereka dengan nilai-nilai yang membuat mereka dapat sungguh menjadi manusia. Menurut buku "Filsafat Manusia" karangan Kasdin Sitohang seorang dosen di salah satu Universitas Katolik di Indonesia, nilai-nilai yang dimaksud adalah karakter, akal budi, kebebasan, nama, suara hati dan perasaan. Karakter memiliki arti umat mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda. Dengan akal budi, umat mampu berpikir kritis, menimbang masalah dan mempertanggung jawabkan tindakannya. Akal budi juga memampukan umat memiliki ide-ide kreatif serta buah-buah pikiran. Setelah itu melalui kebebasan yang dimilikinya, umat mampu menentukan sendiri pilihannya serta mempunyai hak untuk berpendapat dan mengajukan pernyataan tanpa ada yang melarang mereka. Kemudian dengan suara hati, umat dapat menentukan apakah pilihan serta pernyataannya baik atau tidak. Apabila baik maka akan membawa perasaan senang dan apabila buruk dapat membawa perasaan buruk. Dengan menghargai nilai-nilai personal ini maka ia menghargai manusia. Seorang imam yang bertindak secara otoriter dapat melanggar nilai-nilai personal yang ada dalam diri umatnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Otoriter sendiri memiliki arti tindakan yang berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Tindakan ini cenderung menekan aspek kebebasan dalam diri setiap manusia. Tidak mendengarkan pendapat umat, menyakiti perasaan umat, dan mengambil keputusan seenaknya idealnya tidak terjadi dalam diri seorang imam sebab Gereja bersifat komunal alias persekutun. Sebagai seorang pemimpin, imam seharusnya mendukung sifat komunal ini bukan menghancurkannya hanya karena termakan oleh egonya. Meskipun imam memiliki posisi yang lebih tinggi dari umat namun keduanya tetaplah sama-sama umat Allah yang sedang berziarah di dunia ini. Maka selayaknya imam dan umat bekerjasama bahu membahu demi kebaikan Gereja bukan kebaikan diri mereka sendiri.
  • Kedua : Pola komunikatif dialogis "Aku-Engkau". Eksistensi manusia hanya dapat disadari apabila terdapat manusia lain yang mengakuinya. Hal ini yang menjadi alasasn mengapa komunikasi sangat penting bagi manusia selain aspek mahluk sosial. Dengan komunikasi, eksistensi manusia dapat sungguh berada. Komunikasi dengan pola "Aku-Engkau" mengandung makna bahwa setiap orang memiliki posisi yang sama dengan aku[2]. Aku disini berarti mengakui pribadi seseorang seutuhnya. Dengan demikian termasuk segala hal yang dimiliki orang tersebut, segala keunikan, pola pikir dan sebagainya. Apabila seorang imam menerapkan pola komunikasi "Aku-Engkau" dalam setiap aspek pelayanan pastoralnya maka umat akan merasa dihargai oleh imam tersebut. Sebab tidak ada perbedaan antara imam dan umat. Hal ini didukung oleh kata dari Santo Agustinus "Dihadapmu aku seorang Uskup, bersamamu aku adalah umat Allah". Sebagai sesama umat Allah, imam dan umat harus senantiasa saling menghargai satu sama lain. Dengan timbulnya perasaan saling menghargai maka segala tindakan maupun kegiatan yang melibatkan aspek komunikasi dan kebersamaan akan terasa menyenangkan.
  • Ketiga : Melakukan cura personalis atau pengenalan masing-masing pribadi lebih intens. Hal ini begitu penting terutama bagi diri seorang imam. Menjadi pemimpin yang mengenal masing-masing anggotanya dengan baik akan sangat menguntungkan dalam membuat suatu program. Saling mengenal juga menimbulkan rasa aman dan nyaman dalam diri umat ketika berhadapan dengan imamnya. Imam dapat semakin mengerti apa yang sedang terjadi dalam diri umatnya. Hal ini juga turut membantu sang imam dalam membina umatnya agar menjadi semakin baik. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bahwa umat dapat semakin semangat dalam melayani Gereja.
  • Keempat : Komunikasi langsung dan interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah pola komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan memungkinkan timbal balik segera. Sekarang tidak sedikti umat yang mengeluhkan betapa lambat dan sulitnya umat untuk sekedar bertemu dengan imamnya. Hal ini terjadi sebab biasanya sebelum dapat bertemu dengan imam, umat diwajibkan untuk memproses atau membuat janji melalui sekretariat. Di sini letak permasalahannya. Pelayanan sekretariat Gereja dikeluhkan lamban dan tidak responsif. Beberapa orang mengeluhkan hal yang sama ketika diwawancari. Kehadiran seorang imam yang dapat secara langsung berkomunikasi dan cepat tanggap sangat dibutuhkan umat. Sudah seharusnya seorang imam mengembangkan pola komunikasi langsung dan interpersonal sehingga umat dapat lebih mudah untuk bertemu imamnya.

Memang menjadi seorang pemimpin merupakan hal yang sulit terkhususnya menjadi seorang imam. Imam bukan saja diserahkan hal-hal duniawi melainkan juga bertanggungjawab dalam hal-hal rohani. 

Dunia yang berubah semakin cepat membuat permasalahan yang dihadapi umat dan Gereja juga semakin beragam. Dengan begitu kehadiran diri seorang imam di tengah-tengah umat sudah menimbulkan kebahagiaan tersendiri. Namun sebagai manusia, seorang imam juga masih bisa jatuh dalam kesalahan-kesalahan. Untuk itu seorang imam juga membutuhkan dukungan dan sokongan dari umatnya. Bukan hanya sekedar kritik terus menerus yang terlontar. 

Kebersamaan dan sikap mau bahu membahu sangat dibutuhkan dalam menjaga kehidupan gerejawi antar imam dan umat yang baik. Saling menghibur, saling menguatkan dan menjaga, itulah yang dapat diharapkan dari masing-masing pihak baik dari pihak imam maupun pihak umat. 

Selain itu, pengendalian diri dan kesabaran juga turut mengambil peran besar dalam kegiatan komunikasi antar imam dan umat. Tetap menjaga perkataan agar tidak saling menyakiti menjadi hal yang patut diperhatikan secara khusus. Imam tidak boleh mengatur umat seenaknya demikian umat juga diharapkan tidak mengkritik atau bahkan menyebarkan berita yang tidak-tidak tentang imamnya. Semoga dengan demikian imam dan umat dapat membangun Gereja Kristus yang damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun