Hasil gemilang yang diraih Sawahlunto menunjukkan kualitas kepemimpinan Pak Amran yang punya cita rasa. Ia berhasil mengemas sesuatu yang semula disangka tak bernilai menjadi bernilai. Coba googling saja bagaimana Museum Kereta Api Sawahlunto bisa berdiri tegak. Bagaimana barang “rongsokan” dikumpul dan dihimpun dalam Museum Gudang Ransum. Lubang mengenaskan dijadikan objek wisata bernama Lubang Soero. Bekas lahan tambang dijadikan Lapangan Pacu Kuda dan Kebun Binatang Kandis. Kolam angker Zaman Belanda dijadikan Water Boom yang kemudian dicontoh oleh daerah-daerah lain di Sumbar. Dan masih banyak lagi hal-hal yang semula tak disangka-sangka, namun oleh Pak Amran mampu diwujudkannya. Ya.. bisa dikatakan Pak Amran telah menyulap barang bekas menjadi barang berkelas.
Sebagai Sespri Pak Amran saya banyak belajar bagaimana sesungguhnya seorang abdi masyarakat itu. Sekitar tahun 2005, dengan ketulusan dan kesabaran beliau membujuk rayu masyarakat Tanah Lapang agar kawasan itu ditertibkan lalu dijadikan Homestay. Tujuannya, selain mengatasi kesemrawutan akibat padatnya rumah-rumah di sana, juga untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Karena banyak juga turis-turis yang tiba ke Sawahlunto waktu itu ingin berbaur langsung dengan masyarakat, namun apa daya rumah-rumah penduduk banyak yang belum memenuhi standar. Sehingga dengan segala pertimbangan, Pak Amran memilih Tanah Lapang menjadi kawasan homestay.
Saya ingat ketika di Bulan Ramadhan, Pak Amran memberi sambutannya di mushola yang berada di tengah Kelurahan Tanah Lapang. Ia ingin menyentuh hati masyarakat, bahwa penataan Tanah Lapang tidak akan merugikan penduduk namun justru menguntungkan mereka. Hitung-hitungan layaknya seorang pengusaha pun ia beberkan.
Namun di luar mushola terdengar teriakan kurang pantas dari beberapa warga. Pak Amran lalu mengajak orang yang teriak-teriak itu untuk bergabung berdiskusi dengannya di mushola. Tapi orang yang membuat ricuh itu tetap di luar, tetap berteriak-teriak, dan tetap mengecam segala pemaparan Pak Wali Kota. Saya ingat, akhirnya Pak Amran hanya berkata, “Saya bisa saja saat ini, atau setiap hari tidur-tiduran di rumah. Kerja duduk-duduk saja, menerima tamu, resmikan ini dan itu hingga masa tugas saya habis sebagai Wali Kota. Dengan kerja seperti itu, saya juga terima gaji tiap bulan. Tapi itu tidak saya lakukan.”
Pak Amran berhenti sejenak. Orang di luar juga tidak ada yang berteriak-teriak. Lalu dengan nada terisak Pak Amran melanjutkan, “coba bapak-ibu pikirkan, kalau gaji sebagai Wali Kota yang saya terima tetap sama, lalu buat apa saya repot-repot membangun kota ini? Buat apa saya hampir setiap hari kesini menjelaskan tetang pentingnya penataan Tanah Lapang ini kepada bapak dan ibu? Ini semua karena kepedulian dan kecintaan saya pada Sawahlunto.” Lalu saya melihat Pak Amran meneteskan air matanya. Semua hening.
Tanah lapang saat ini menjadi kawasan yang nyaman berkat sentuhan Pak Amran, tidak saja tanah lapang saya kira, seluruh titik di Sawahlunto tidak terlepas dari keringat dan air matanya. Bukan rahasia umum lagi bila Pak Amran orang yang emosional, ia gampang marah namun sebaliknya juga mudah terenyuh dan lalu menitikkan air mata. Dan semua orang juga tahu, marah dan air mata itu beliau suguhkan hanya untuk Sawahlunto.
Selamat jalan Pak Amran. Semoga Allah SWT mencintaimu seperti engkau mencintai Sawahlunto.
ket : artikel ini telah dimuat di harian Padang Ekspres, Jumat 24 Juni 2016.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H