Mohon tunggu...
Jose Rizal
Jose Rizal Mohon Tunggu... PNS pada IPDN Kampus Jakarta -

Penjaga NKRI. Penulis buku : Sang Abdi Praja (Gramedia 2013), Kharisma Ayahku, Sebuah Biografi Zairin Kasim (Gramedia 2018). STPDN 1999, S2 Fisip UI 2002. Twitter : @JoseRi_zal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bapak Amran Nur dalam Kenangan

27 Juni 2016   08:08 Diperbarui: 27 Juni 2016   08:38 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2003. Sebagai seorang Pamong Praja muda yang baru kembali usai menamatkan studi S2 di UI, saya ditempatkan sebagai Sekcam Talawi Kota Sawahlunto. Salah satu tugas yang sangat berkesan bagi saya kala itu adalah membantu mengurus KTP seorang perantau Talawi di Jakarta, yang ingin alamat di KTPnya yang semula di Jakarta menjadi berdomisili di Talawi berhubung niat beliau untuk mencalonkan diri menjadi Wali Kota Sawahlunto. Beberapa bulan kemudian, saya sungguh tak menyangka bila pemilik KTP itu berhasil mendominasi hati DPRD. Dia terpilih menjadi  Wali Kota Sawahlunto, bahkan hingga dua periode. Dialah Bapak Ir.H. Amran Nur.  

Rupanya interaksi kami tak berhenti sebatas KTP belaka. Tak lama setelah Pak Amran dilantik, tersiar kabar ia mencari seorang Sekretaris Pribadi atau Sespri yang bakal membantu secara teknis dan administrasi seluruh aktivitas beliau sebagai Wali Kota Sawahlunto. Peran Sespri diperkirakan bakal dominan mengingat basic beliau yang belum pernah memasuki ranah birokrasi. Sebelumnya Pak Amran dikenal sebagai pengusaha di Jakarta. Info tentang Sespri ini seperti angin lalu bagi saya, toh saya baru saja menuntaskan Pasca Sarjana dan bertugas di Kecamatan Talawi. Jadi tak terlintas sedikitpun Pak Amran akan melirik saya untuk menjadi Sespri beliau. Namun dugaan saya keliru, ponsel saya bordering, saya angkat, di seberang sana terdengar suara ajudan Wali Kota.

“Pak Sekcam lagi di kantor kan?, siap-siap tiga menit lagi kami menjemput,”

“Menjemput saya? ”

“Iya ini lagi bersama bapak, nanti oto Pak Wali singgah sebentar di depan kantor. Pak Sekcam langsung naik ya,”

“Siaap.” Ujarku tanpa ba-bi-bu lagi.

Mendapat telpon serupa itu, aku langsung lapor ke Pak Camat. Janggal saja rasanya, Wali Kota akan datang menjemputku lalu mengajakku naik otonya. Aku tak ingin pak camat berprasangka tak elok soal ini, nanti dicapnya pula aku anak buah yang tak beretika karena melangkahi atasannya. Pak Camat kemudian tersenyum mendengar laporanku, “Tak masalah Pak Sek. Pak Wali kita sekarang tipenya memang begitu, tak perlu birokrasi-birokrasian.”

Menunggu tiga menit yang dijanjikan itu terasa sangat lama karena dalam kepalaku penuh dengan berbagai pertanyaan. Ada apa gerangan Bapak Wali Kota yang baru itu menjemputku. Mengapa aku bukannya Pak Camat. Mengapa aku tidak dipanggilnya saja ke kantornya. Lamunanku buyar tatkala mataku menangkap Mobil Dinas Hitam bernomor polisi “BA 1 R”.

Di dalam oto, kami duduk berdampingan di kursi tengah. Kursi depan ditempati ajudan wako dan drivernya. Pak Amran membuka cerita bahwa ia baru saja kembali dari melihat-lihat kondisi desa-desa yang ada di Talawi. Istilah zaman sekarang, Pak Amran baru usai blusukan. Lalu obrolan kami mengalir seputaran pengelolaan pemerintahan di era Otonomi Daerah. Lebih jauh Bapak Amran seperti ingin lebih mengakrabkan diri, beliau menanyakan tentang tempat tinggal saya, orang tua saya, saudara bagaimana dan seterusnya. Dan akhirnya, poin penting itu meluncur dari bibirnya, “Jose, bantu bapak ya, jadi Sespri. Besok kita mulai.”

Kalau ada yang bertanya suka atau tidaknya aku menjadi Sespri, dari lubuk hati yang paling dalam aku akan menjawab tidak suka, karena aku membayangkan tugas-tugasku yang senantiasa berkaitan dengan tugas-tugas Pak Wali Kota. Aku akan terikat, tidak bebas dan yang pasti tidak berkembang. Namun seiring berjalannya waktu, aku menikmati posisi ini dan yang paling menguntungkan aku bisa belajar langsung bagaimana Pak Amran menghidupkan Sawahlunto yang waktu itu nyaris menjadi kota hantu.

Sebagaimana kita ketahui, Sawahlunto di awal kepemimpinan Pak Amran yang berpasangan dengan Pak Fauzi Hasan adalah Sawahlunto yang sekarat. Batubara yang menjadi andalan telah tandas, ribuan pekerja tambang PT BA UPO dipensiun dinikan, kereta api tak lagi berfungsi, harapan seperti punah untuk tinggal di Sawahlunto. Namun Pak Amran rupanya bukanlah sosok yang mudah menyerah, dengan gigih saya saksikan beliau berjuang menggairahkan kembali Sawahlunto. Harapan demi harapan beliau tabur dengan sabar. Alhasil, Sawahlunto kembali bergeliat, tak hanya tingkat nasional, namun hingga ke langit internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun