Dengan wajah baru tersebut, rupanya belum menjamin sekolah pamong praja ini menemukan jati dirinya. Terbukti dengan munculnya kembali kasus pemukulan senior terhadap junior dalam rangka pembai’atan Anggota Korps Polisi Praja yang mengorbankan Cliff Muntu, praja utusan propinsi Sulawesi Utara (3 April 2007).
Polemik bermunculan lagi, hingga kembali menuntut agar IPDN dibubarkan saja. Namun rupanya pemerintah bersikap tegas dengan memilih opsi yang ditawarkan Tim Implementasi Pembenahan Pendidikan Kader Pemerintahan yang dipimpin Prof. DR. Ryaas Rasyid, yakni Opsi untuk tidak menerima praja baru selama setahun dan menyiapkan pendirian IPDN regional di lima daerah se-Indonesia serta mengkaji ulang sistem pendidikan di sekolah pamong praja yang juga sekaligus menghapuskan segala bentuk kekerasan yang telah mendarah daging tersebut.
Setelah selama satu tahun tidak menerima calon praja, Departemen Dalam Negeri kembali membuka pendaftaran bagi putera/puteri Sabang-Merauke ini untuk mengikuti pendidikan ikatan dinas pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dari tanggal 26 Mei hingga 7 Juni 2008 melalui pemerintah daerah setempat.
Calon praja yang berhasil lulus seleksi akan disebar dan ditempatkan di kampus IPDN Regional di lima daerah yakni ; Baso, Jatinangor, Banjarmasin, Makasar dan Mataram. Dengan dimulainya pendaftaran tersebut, berarti pula dimulainya babak baru bagi lembaga pendidikan pamong praja ini.
Mengapa Tidak Bisa Dibubarkan?
Selain karena secara historis pendidikan pamong praja telah lama mewarnai cakrawala penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, tidak dibubarkannya STPDN/IPDN juga terlebih karena pertimbangan bahwa peran sekolah tersebut dalam mencetak kader pamong praja masih terus dibutuhkan selama pemerintahan NKRI masih berdiri. Karena secara struktural dan fungsional, pamong praja memang memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan.
Pamong praja sebenarnya merupakan sebutan kepada pegawai negeri yang memberikan teladan, pelayanan dan mengayomi masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, maka pamong praja dituntut untuk semakin profesional, perpengetahuan dan berkemampuan lebih dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Menurut Prof.DR. Taliziduhu Ndraha, ada beberapa fungsi mutlak yang harus dimiliki seorang Pamong Praja untuk memenuhi takdirnya sebagai kualitas utama pemerintahan. Pertama adalah fungsi conducting, yaitu fungsi yang perlu digerakkan untuk menciptakan harmoni antar kegiatan yang berbeda oleh aktor yang berlain-lainan guna menghasilkan kinerja-bersama (bersinerji, misalnya orkestra).
Kedua, coordinating. Yakni fungsi yang harus digerakkan untuk membangun komitmen-bersama oleh aktor yang berlain-lainan guna mencapai kinerja masing-masing yang berbeda-beda tanpa yang satu merugikan kinerja yang lain.
Ketiga, peace-making. Adalah fungsi pendamaian masyarakat. Di zaman dahulu, misalnya, Kepala Desa diakui oleh Belanda sebagai Hakim Perdamaian Desa, dan pegawai kecamatan diakui sebagai hulp-magistraat. Dengan fungsi ini, kerukunan lokal diharapkan tumbuh dan terpelihara.
Keempat, residue-caring. yakni fungsi kepedulian terhadap urusan yang tidak termasuk tupoksi unit kerja manapun, sisa urusan yang tidak menguntungkan. Gejala ini dijelaskan oleh teori pemerintahan yang diberi nama Teori Residu (Teori Sisa).