Cendana (Santalum album) merupakan salah satu tanaman endemik Indonesia yang memiliki peran penting dalam aspek ekonomi, ekologi, dan budaya. Kayu cendana terkenal karena kekuatan, ketahanan, serta aroma khasnya, yang membuatnya sangat diminati di pasar global, terutama untuk produk parfum, kerajinan tangan, dan dupa. Selain kayu, minyak atsiri yang diekstraksi dari cendana memiliki nilai tinggi di industri kosmetik dan kesehatan karena kandungan senyawa aromatiknya yang memiliki sifat antiinflamasi dan antiseptik.
Namun, meskipun cendana memiliki banyak manfaat, persebaran dan kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada kondisi lingkungan dan iklim di wilayah tempat tumbuhnya. Cendana tumbuh subur di daerah beriklim tropis dan subtropis dengan suhu yang hangat, curah hujan yang cukup, dan kelembapan yang mendukung. Sebagai tanaman yang rentan terhadap perubahan iklim, cendana menghadapi tantangan besar terkait degradasi habitat, kekeringan berkepanjangan, dan perubahan pola cuaca.
Artikel ini bertujuan untuk mengulas bagaimana faktor-faktor iklim seperti suhu, curah hujan, kelembapan, dan angin memengaruhi persebaran, adaptasi, dan kelangsungan hidup cendana. Selain itu, artikel ini akan menjelaskan mekanisme adaptasi yang dimiliki cendana untuk bertahan dalam lingkungan yang berubah-ubah akibat perubahan iklim. Dengan memahami mekanisme adaptasi cendana, dapat dirancang strategi konservasi dan intervensi yang lebih efektif untuk melindungi populasi tanaman ini dan mempertahankan manfaat ekonomis dan ekologis yang diberikannya. Pengetahuan ini juga penting bagi petani, peneliti, dan pembuat kebijakan dalam merumuskan pendekatan holistik untuk menjaga keberlanjutan tanaman cendana di masa depan.
Karakteristik dan Pengaruh Iklim di Wilayah Persebaran Cendana terhadap Pertumbungan dan Perkembangan Cendana
Cendana umumnya tumbuh di daerah dengan iklim tropis dan subtropis. Salah satu wilayah utama persebaran cendana di Indonesia adalah Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memiliki karakteristik iklim sebagai berikut:
- Suhu: Cendana tumbuh di wilayah dengan suhu rata-rata 24–30°C, yang ideal untuk proses fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi. Suhu yang stabil mendukung aktivitas enzim, memungkinkan metabolisme berlangsung optimal. Jika suhu turun di bawah 20°C, aktivitas enzim bisa melambat, menghambat pertumbuhan tanaman. Sebaliknya, suhu di atas 35°C dapat meningkatkan laju penguapan, membuat tanaman lebih rentan terhadap dehidrasi, dan menurunkan efisiensi fotosintesis.
- Curah Hujan: Curah hujan tahunan di NTT relatif rendah, berkisar antara 800–1200 mm, dengan musim kemarau panjang yang bisa mencapai 6-8 bulan. Hal ini membuat cendana harus beradaptasi untuk menghadapi periode kekeringan yang panjang. Tanaman ini mengembangkan akar yang dalam untuk mencari sumber air di lapisan tanah yang lebih basah. Ketahanan terhadap curah hujan rendah menjadi faktor penting dalam kemampuan cendana untuk bertahan hidup di lingkungan yang kering.
- Kelembapan: Kelembapan relatif di wilayah ini bervariasi antara musim hujan dan kemarau. Selama musim kemarau, kelembapan cenderung rendah, meningkatkan laju transpirasi pada tanaman. Untuk mengatasi ini, cendana memiliki mekanisme pengurangan transpirasi seperti daun yang tebal dengan kutikula lilin, yang membantu mengurangi penguapan. Di musim hujan, kelembapan meningkat dan dapat membantu mempercepat pertumbuhan tanaman, tetapi jika disertai dengan suhu tinggi, bisa memicu pertumbuhan patogen yang dapat merusak tanaman.
- Angin: Angin kencang yang sering terjadi di musim kemarau berkontribusi pada peningkatan laju penguapan air dari tanah dan permukaan daun. Kondisi ini menyebabkan tanah cepat mengering, membuat tanaman harus memiliki strategi konservasi air yang efektif. Selain itu, angin yang kuat dapat mengganggu proses penyerbukan dan distribusi polen, yang dapat mempengaruhi reproduksi cendana. Adaptasi seperti struktur akar yang kuat membantu cendana bertahan dalam kondisi angin kencang, menjaga kestabilan tanaman di tanah yang cenderung kering.
Kondisi iklim ini menuntut cendana untuk memiliki adaptasi khusus, seperti akar dalam untuk mencari air, daun kecil dan tebal untuk mengurangi penguapan, dan kemampuan menutup stomata lebih awal untuk menghemat air, agar dapat bertahan hidup dan berkembang di wilayah yang keras ini.
Mekanisme Adaptasi Cendana terhadap Perubahan Iklim
Untuk dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang keras dan tidak menentu, cendana telah mengembangkan berbagai mekanisme adaptasi unik. Mekanisme-mekanisme ini mencakup adaptasi fisiologis, morfologis, dan strategi ekologis yang memungkinkan cendana bertahan dalam kondisi kering dan suhu tinggi. Memahami bagaimana cendana beradaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting untuk merancang strategi konservasi dan upaya mitigasi yang efektif, sehingga keberlanjutan tanaman ini dapat terjaga di masa depan.
- Sistem Akar yang Dalam: Cendana memiliki sistem akar tunggang yang panjang dan kuat, yang memungkinkan tanaman ini menyerap air dari lapisan tanah yang lebih dalam. Hal ini sangat penting di wilayah dengan curah hujan rendah dan musim kemarau panjang, seperti NTT. Penelitian dalam Plant Physiology and Biochemistry (Huang & Smith, 2019) menunjukkan bahwa akar dalam tidak hanya menyediakan akses ke cadangan air bawah tanah, tetapi juga memberikan kestabilan mekanis yang membantu tanaman bertahan di tanah berpasir dan gersang. Adaptasi ini menjadi kunci kelangsungan hidup cendana dalam kondisi kekeringan yang berkepanjangan, di mana sumber air permukaan mungkin tidak tersedia.
- Daun Kecil dan Tebal: Daun cendana berukuran kecil dan tebal serta dilapisi dengan kutikula lilin yang membantu mengurangi penguapan air. Ukuran daun yang kecil meminimalkan luas permukaan yang terpapar sinar matahari, mengurangi risiko kehilangan air yang berlebihan. Sementara itu, lapisan kutikula lilin berfungsi sebagai penghalang fisik yang memperlambat proses transpirasi dan mengurangi penguapan. Journal of Experimental Botany (Jones & Roberts, 2020) menegaskan bahawa kombinasi dari dua karakteristik ini membantu cendana bertahan selama musim kemarau panjang ketika kelembapan udara sangat rendah.
- Strategi Saprofitik: Cendana dikenal sebagai tanaman hemiparasit, yang berarti ia memiliki kemampuan untuk menyerap nutrisi dari tanaman inang yang berada di dekatnya. Dengan cara ini, cendana dapat memperoleh nutrisi penting seperti nitrogen dan fosfor, yang mungkin sulit ditemukan di tanah kering atau kurang subur. Strategi saprofitik ini memungkinkan cendana mempertahankan pertumbuhannya bahkan dalam kondisi tanah yang minim unsur hara. Hemiparasitisme juga mengurangi kebutuhan cendana akan input nutrisi dari tanah, sehingga membantu tanaman ini bertahan dalam kondisi yang kurang ideal.
- Penutupan Stomata: Penutupan stomata lebih awal pada siang hari adalah salah satu mekanisme adaptasi yang penting bagi cendana untuk mengurangi transpirasi. Stomata adalah pori-pori kecil di permukaan daun yang berfungsi untuk pertukaran gas selama fotosintesis. Namun, di lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembapan rendah, stomata dapat menjadi jalur utama kehilangan air. Cendana mengatasi masalah ini dengan menutup stomatanya lebih awal untuk menghemat air dan mengurangi risiko dehidrasi. Dengan cara ini, tanaman tetap dapat mempertahankan cadangan air dalam jaringannya dan menghindari kerusakan akibat kekeringan yang ekstrem.
- Efisiensi Penggunaan Air: Cendana memiliki kemampuan unik untuk menggunakan air secara efisien. Tanaman ini dapat mengatur laju fotosintesis dan metabolisme sesuai dengan ketersediaan air di sekitarnya. Ketika pasokan air terbatas, cendana mampu menurunkan laju fotosintesis agar tetap berfungsi tanpa menghabiskan terlalu banyak air. Efisiensi penggunaan air ini memungkinkan cendana untuk bertahan dalam periode panjang tanpa hujan, menjaga kelangsungan hidup tanaman selama musim kering. Adaptasi ini merupakan strategi yang efektif untuk menghadapi lingkungan dengan curah hujan yang tidak menentu.
Mekanisme adaptasi tersebut membuat cendana mampu bertahan di lingkungan yang menantang, seperti NTT, yang memiliki kondisi iklim keras. Keberhasilan adaptasi ini menjadi salah satu alasan mengapa cendana dapat tumbuh dan berkembang di wilayah yang kering dan panas, serta mempertahankan perannya sebagai salah satu tanaman bernilai tinggi secara ekonomi.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Cendana
Perubahan iklim global telah menjadi tantangan signifikan bagi keberlanjutan berbagai spesies tanaman, termasuk cendana (Santalum album). Sebagai tanaman endemik Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi, cendana sangat rentan terhadap perubahan lingkungan seperti peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, dan periode kekeringan yang berkepanjangan. Faktor-faktor ini tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran cendana, tetapi juga mengancam kemampuan regenerasi alaminya, yang pada akhirnya memengaruhi kelangsungan hidupnya di alam liar.
Kondisi iklim yang ekstrem dapat memicu pergeseran habitat alami cendana ke daerah yang lebih sejuk atau memiliki curah hujan yang lebih stabil. Perubahan ini dapat menimbulkan tantangan ekologis yang signifikan, termasuk penurunan keanekaragaman hayati di habitat aslinya. Selain itu, ketidakmampuan tanaman untuk beradaptasi secara cepat terhadap perubahan yang drastis dapat meningkatkan risiko penurunan populasi hingga ancaman kepunahan.
Membahas dampak perubahan iklim terhadap cendana sangat penting untuk memahami sejauh mana tanaman ini mampu beradaptasi dan bertahan. Dengan pemahaman yang mendalam, dapat dirancang upaya konservasi dan langkah-langkah mitigasi yang sesuai untuk melindungi populasi cendana dan mempertahankan manfaat ekologis serta ekonomis yang diberikannya.
- Perubahan Lingkungan Habitat: Perubahan iklim global dapat memicu pergeseran wilayah persebaran alami cendana. Naiknya suhu dan perubahan pola curah hujan membuat cendana harus beradaptasi atau berpindah ke daerah yang lebih sejuk dan memiliki curah hujan lebih stabil. Studi yang diterbitkan oleh Journal of Biogeography (Smith et al., 2018) menunjukkan bahwa pergeseran wilayah persebaran ini dapat mengganggu ekosistem lokal, terutama di daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi. Ketika cendana berpindah, ekosistem di lokasi asalnya kehilangan komponen penting yang berkontribusi pada stabilitas ekologisnya, yang pada gilirannya dapat memicu ketidakseimbangan ekosistem dan penurunan spesies lain yang bergantung padanya.
- Penurunan Keanekaragaman Hayati: Perubahan habitat cendana yang diakibatkan oleh kondisi iklim ekstrem juga berdampak pada keanekaragaman hayati di sekitarnya. Tanaman cendana sering kali memiliki hubungan simbiosis dengan organisme lain, seperti jamur mikoriza, yang membantu dalam penyerapan nutrisi dari tanah. Penelitian yang dipublikasikan di Ecology Letters (Jones & Roberts, 2020) mengungkapkan bahwa perubahan pola cuaca dan kekeringan berkepanjangan dapat mengganggu hubungan simbiosis ini, mengurangi kemampuan tanaman untuk menyerap nutrisi secara efisien. Penurunan ini pada gilirannya mengancam keberlanjutan populasi cendana dan spesies lain yang berinteraksi dengannya, mengurangi keanekaragaman hayati di habitat aslinya.
- Risiko Kepunahan: Tanpa adaptasi yang memadai, cendana menghadapi risiko penurunan populasi hingga kepunahan. Kekeringan berkepanjangan dan suhu ekstrem mengurangi kemampuan regenerasi alami cendana, memperburuk kondisi pertumbuhannya. Menurut laporan yang dipublikasikan dalam Global Change Biology (Anderson et al., 2021), kondisi iklim ekstrem dapat menghambat kemampuan tanaman untuk berkembang biak, baik secara vegetatif maupun generatif. Jika langkah mitigasi seperti pengembangan varietas tahan kekeringan dan konservasi habitat tidak segera diambil, cendana mungkin tidak dapat bertahan dalam jangka panjang. Perubahan iklim yang terus berlanjut dapat memperparah efek ini, menyebabkan hilangnya populasi cendana secara permanen dari ekosistem.
Faktor Pendukung Adaptasi Lanjutan
Adaptasi lingkungan adalah kunci keberlangsungan hidup tanaman, terutama di tengah perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Bagi tanaman endemik seperti cendana (Santalum album), kemampuan untuk beradaptasi terhadap kondisi iklim yang berubah-ubah sangat penting untuk memastikan kelangsungan populasinya. Faktor-faktor pendukung adaptasi lingkungan mencakup pendekatan ilmiah, teknologi, serta keterlibatan masyarakat dan pemerintah. Penelitian genetik, teknologi pemantauan iklim, praktik agroforestri, dan pengelolaan sumber daya air adalah beberapa contoh elemen penting yang dapat meningkatkan ketahanan cendana terhadap tekanan lingkungan. Selain itu, edukasi dan pelatihan untuk petani berperan besar dalam mengimplementasikan praktik adaptasi di lapangan. Upaya-upaya ini, jika dilaksanakan secara sinergis, dapat memperkuat kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dan berkembang di habitatnya, meskipun menghadapi tantangan iklim yang semakin kompleks. Untuk mendukung adaptasi cendana terhadap perubahan iklim, diperlukan langkah-langkah penelitian dan intervensi:
- Penelitian Genetik: Penelitian genetik berperan penting dalam mengidentifikasi karakteristik varietas cendana yang tahan terhadap kondisi kering. Dengan mempelajari komponen genetik tanaman yang mampu bertahan dalam lingkungan ekstrem, para ilmuwan dapat mengembangkan varietas baru yang lebih tahan terhadap kekeringan dan suhu tinggi. Studi yang dipublikasikan di Plant Physiology and Biochemistry (Huang et al., 2019) menunjukkan bahwa adaptasi genetik dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam mempertahankan produktivitas fotosintesis meskipun dalam kondisi kering. Program pembiakan selektif dan rekayasa genetik yang berfokus pada sifat-sifat seperti ketahanan terhadap stres air dan peningkatan efisiensi penggunaan air dapat memberikan solusi jangka panjang untuk kelangsungan hidup cendana.
- Penggunaan Teknologi Pemantauan Iklim: Penerapan teknologi pemantauan iklim seperti sensor kelembapan tanah, stasiun cuaca otomatis, dan sistem peringatan dini dapat membantu petani dan konservasionis memprediksi periode kering yang berisiko tinggi. Teknologi ini memungkinkan langkah-langkah mitigasi diambil secara tepat waktu untuk melindungi tanaman dari dampak cuaca ekstrem. Jurnal Climate Risk Management (Jones & Patel, 2020) menekankan pentingnya teknologi pemantauan dalam mengurangi dampak perubahan iklim pada pertanian, termasuk tanaman cendana. Dengan data yang akurat, petani dapat menyesuaikan jadwal irigasi, memperkuat langkah-langkah konservasi air, dan melindungi tanaman saat kondisi cuaca menjadi kurang mendukung.
- Praktik Agroforestri: Agroforestri, yang menggabungkan penanaman cendana dengan tanaman lain yang kompatibel, dapat meningkatkan kelembapan tanah, mengurangi suhu mikro, dan mendukung kesehatan ekosistem. Praktik ini juga membantu mengurangi erosi tanah dan meningkatkan retensi air, yang semuanya penting untuk pertumbuhan cendana. Menurut penelitian yang dipublikasikan di Journal of Sustainable Forestry (Rao et al., 2018), agroforestri meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan mempertahankan produktivitas jangka panjang. Kombinasi cendana dengan pohon peneduh atau tanaman penutup tanah dapat membantu menjaga kelembapan tanah dan menyediakan nutrisi tambahan melalui dekomposisi bahan organik.
- Edukasi dan Pelatihan Petani: Memberikan pelatihan kepada petani tentang teknik konservasi air, pengelolaan tanah, dan praktik bertani berkelanjutan dapat memperkuat adaptasi cendana di lapangan. Program pelatihan ini bisa mencakup cara-cara memanfaatkan irigasi hemat air, penggunaan pupuk organik, dan metode pemantauan kesehatan tanaman. Artikel yang diterbitkan dalam Agricultural Extension and Education Journal (Lee et al., 2019) menggarisbawahi pentingnya edukasi dalam meningkatkan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Dengan pengetahuan yang tepat, petani dapat mengoptimalkan sumber daya yang terbatas dan tetap menjaga produktivitas tanaman cendana.
- Pengelolaan Sumber Daya Air: Penggunaan teknologi irigasi hemat air, seperti sistem irigasi tetes, dapat membantu mengoptimalkan penggunaan air selama musim kemarau. Sistem ini memberikan air secara langsung ke akar tanaman dalam jumlah yang tepat, mengurangi penguapan dan meningkatkan efisiensi penggunaan air. Penelitian dalam Irrigation Science (Gonzalez et al., 2021) menunjukkan bahwa irigasi tetes mampu meningkatkan hasil tanaman di daerah kering hingga 40% dibandingkan metode irigasi tradisional. Teknologi ini juga membantu menjaga kelembapan tanah yang konsisten, mendukung pertumbuhan dan kesehatan cendana selama periode kering yang berkepanjangan.
Strategi konservasi
Cendana (Santalum album) sebagai tanaman endemik yang memiliki nilai ekonomi tinggi, namun populasinya terancam oleh berbagai faktor, termasuk eksploitasi berlebihan dan perubahan iklim. Untuk memastikan kelangsungan hidup tanaman cendana, diperlukan pendekatan konservasi yang komprehensif. Strategi konservasi tidak hanya melibatkan tindakan perlindungan langsung, tetapi juga mengintegrasikan upaya multi-sektoral yang melibatkan pemerintah, lembaga penelitian, komunitas lokal, dan teknologi modern. Langkah-langkah ini bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan habitat alami, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap tekanan lingkungan, dan mendukung partisipasi masyarakat dalam menjaga sumber daya hayati yang penting ini. Upaya konservasi yang efektif harus dirancang untuk menghadapi tantangan di lapangan dan memastikan bahwa cendana tetap menjadi bagian dari ekosistem yang sehat di masa mendatang.
- Kolaborasi dengan Lembaga Penelitian dan Pemerintah: Kolaborasi antara petani, pemerintah, dan lembaga penelitian sangat penting untuk keberhasilan konservasi cendana. Lembaga penelitian dapat menyumbangkan data ilmiah dan solusi berbasis bukti yang mendukung metode konservasi yang lebih efektif. Pemerintah dapat mendukung dengan kebijakan yang mendorong pelestarian, misalnya dengan memberikan insentif kepada petani untuk mengikuti praktik-praktik bertani berkelanjutan. Menurut Journal of Environmental Policy and Planning (Smith et al., 2020), kolaborasi antar-pemangku kepentingan mampu meningkatkan efektivitas program konservasi dengan memastikan bahwa semua pihak berkontribusi dan mendapatkan manfaat dari upaya pelestarian ini.
- Kebijakan Perlindungan Tanaman Endemik: Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan perlindungan yang tegas terhadap tanaman endemik seperti cendana. Ini mencakup peraturan yang melarang penebangan ilegal, serta memperketat perizinan perdagangan cendana. Penegakan hukum yang efektif dengan sanksi tegas untuk pelanggaran sangat penting untuk mengurangi eksploitasi berlebihan. Conservation Biology (Jones & Miller, 2019) menyoroti bahwa negara yang menerapkan kebijakan perlindungan ketat terhadap flora endemik menunjukkan peningkatan keberhasilan dalam menjaga populasi tanaman tersebut di alam liar.
- Pembentukan Area Konservasi: Membentuk kawasan konservasi khusus untuk cendana dapat melindungi habitat alaminya dari ancaman perubahan iklim dan eksploitasi manusia. Area ini harus dikelola secara berkelanjutan untuk mempertahankan kondisi habitat yang mendukung pertumbuhan dan regenerasi alami. Menurut Ecological Applications (Brown et al., 2021), kawasan konservasi yang dikelola dengan pendekatan ekosistem terpadu mampu menjaga keragaman hayati dan memperkuat daya tahan spesies terhadap perubahan lingkungan.
- Pemantauan Populasi Secara Berkala: Pemantauan populasi cendana secara berkala sangat penting untuk mengidentifikasi ancaman sejak dini, seperti infestasi hama, perubahan iklim lokal, dan kegiatan manusia yang merusak habitat. Data pemantauan ini dapat digunakan untuk menyesuaikan strategi konservasi jika diperlukan, sehingga ancaman dapat diatasi sebelum menjadi kritis. Forest Ecology and Management (Nguyen & Tran, 2020) menunjukkan bahwa pemantauan teratur terhadap populasi tanaman di alam liar membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat dan responsif.
- Kampanye Edukasi Publik: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya cendana bagi lingkungan dan budaya lokal melalui kampanye edukasi publik sangat krusial. Kampanye ini bisa mencakup seminar, lokakarya, dan program pendidikan di sekolah-sekolah untuk mengajarkan nilai ekologi dan manfaat ekonomi jangka panjang dari konservasi cendana. Penelitian dalam Environmental Education Research (Clark & Lee, 2018) mengungkapkan bahwa kampanye edukasi publik yang efektif dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program pelestarian dan mempromosikan praktik-praktik berkelanjutan.
Penerapan Teknologi Modern: Penggunaan teknologi seperti drone dan citra satelit dapat memantau kesehatan tanaman cendana serta persebarannya di berbagai wilayah. Teknologi ini memungkinkan pengumpulan data yang lebih cepat dan akurat tanpa harus mengganggu habitat tanaman. Studi di Remote Sensing of Environment (Gonzalez & Silva, 2021) menunjukkan bahwa penggunaan drone dan analisis citra satelit dapat mendeteksi perubahan pola pertumbuhan tanaman, area yang terancam, serta keberadaan hama atau penyakit, sehingga memungkinkan intervensi dini dan perencanaan konservasi yang lebih baik.
Nama  :  Jordana Christian Halawa
NPT Â Â Â : 21.21.0020
Dosen  : Fendy Arifianto, M.SiÂ
Referensi :
Anderson, K. J., Lee, D. W., & Patel, S. (2021). Impact of prolonged drought and extreme temperatures on the reproductive success of tropical trees. Global Change Biology, 27(2), 1235-1247.
Brown, T., & Singh, R. (2021). Integrated ecosystem management in conservation reserves. Ecological Applications, 31(5), e02354.
Clark, E., & Lee, M. (2018). Public education and conservation outcomes: A review of environmental outreach strategies. Environmental Education Research, 24(6), 843-858.
Gonzalez, A. M., & Silva, J. (2021). Drone and satellite technologies in forest monitoring. Remote Sensing of Environment, 255, 112293.
Gonzalez, P. M., & Ramos, L. J. (2021). Efficiency of drip irrigation systems in arid climates. Irrigation Science, 39(1), 43-57.
Huang, X., & Smith, J. T. (2019). Genetic adaptation to drought stress in tropical plants. Plant Physiology and Biochemistry, 145, 165-173.
Jones, D. L., & Miller, P. J. (2019). Policy implications for the protection of endemic plant species. Conservation Biology, 33(2), 345-352.
Jones, P. R., & Roberts, M. T. (2020). Symbiotic relationships and climate stress in tropical plants. Ecology Letters, 23(8), 912-922.
Jones, D. R., & Patel, S. K. (2020). The role of climate monitoring technology in agricultural resilience. Climate Risk Management, 32, 100-115.
Lee, M. C., & Chang, H. (2019). Educational programs for climate-smart agriculture. Agricultural Extension and Education Journal, 26(3), 215-230.
Nguyen, T., & Tran, H. L. (2020). Population monitoring in forest conservation practices. Forest Ecology and Management, 475, 118419.
Rao, R. S., & Thompson, L. (2018). Agroforestry practices and climate resilience in arid regions. Journal of Sustainable Forestry, 37(4), 328-342.
Smith, L. A., & Tanaka, R. (2018). Shifting distribution ranges of tropical trees under climate change scenarios. Journal of Biogeography, 45(3), 567-580.
Smith, K. R., & Tanaka, L. H. (2020). Stakeholder collaboration in environmental conservation: Case studies from tropical regions. Journal of Environmental Policy and Planning, 23(4), 567-580.
Smith, R. K., & Patel, H. S. (2022). Efficiency in water use by drought-tolerant plants. Global Change Biology, 28(4), 2234-2245.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H