Pak Harimau melangkah pelan ke luar hutan yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Jalanan yang dilaluinya terlihat sepi. Warga hutan banyak yang sudah berangkat kerja. Anak-anak bersekolah.
Wajah Pak Harimau terlihat sedih, letih dan tatap matanya sayu. Hati Pak Harimau menyesali keadaannya yang kini mulai tak dihiraukan oleh warga, terutama yang muda dan anak-anak.
Dia ingat, beberapa bulan ini setiap ucapan yang keluar darinya selalu mendapat jawaban yang tidak mengenakkan di telinganya. Ucapan itu seakan tak menghargainya sebagai orang yang dituakan. Dia pernah menjadi ketua yang begitu dihormati oleh semua warga.
Di tengah-tengah lelahnya berjalan, Pak Harimau beristirahat sebentar di bawah pohon yang begitu rindang. Pandangan matanya menerawang ke arah hutan yang semakin jauh dari tempatnya saat ini.
"Apa aku benar-benar tak berharga lagi?" keluhnya sambil membaringkan tubuhnya yang penat.
Saat beristirahat dan matanya mulai terpejam, tiba-tiba terdengar suara tangis, lirih.Â
"Huhuuu..."
Suara itu masih terus didengar Pak Harimau. Mau tak mau dia bangkit dan mencari sumber suara itu. Pandangannya diedarkan ke beberapa arah mata angin. Karena tak menemukan sumber suara, dia melangkah untuk mencari sumber suara berasal. Maklum, penglihatannya memang sedikit terganggu di masa tuanya.
Setelah berjalan beberapa saat, terlihatlah seekor kelinci mungil yang sedang menangis.
"Ci, kenapa kamu? Kok nggak sekolah?" tanya Pak Harimau.