"Kakak berdua ini seperti Semar, tetanggaku," ucap Imut tiba-tiba.
Muti dan Mutmut yang mendengar perkataan Imut saling menatap.
"Semar?" tanya Muti kepada Imut.
Imut mengangguk. Lalu bercerita tentang Semar yang belum lama tinggal di dekat rumahnya.
"Semar itu baik banget. Tapi dia sedih. Katanya nggak bisa bertemu adik dan tetangga yang sering membantunya."
Muti menatap Mutmut.
"Apa menurutmu, Semar yang dimaksud Imut ini Semar yang kita cari?"
Mutmut menggelengkan kepala.Â
"Kita nggak bisa bilang kalau yang diceritakan Imut itu adalah Semar yang kita cari. Kecuali kita ke sana, Muti," ucap Mutmut.
"Nanti kita tanya sama ibunya Imut. Di mana tempat tinggal mereka. Terus kita ke sana. Siapa tahu, nanti kita bisa ketemu sama Semar," usul Muti.
***
Muti dan Mutmut mendekati Ibu dan Bapak. Mereka berniat untuk menyampaikan niat mereka untuk ke rumah Imut dan keluarganya. Tadi mereka berdua sudah bertanya kepada Ibu Imut, di mana rumah mereka.
"Apa nggak besok saja, Muti-Mutmut?"
"Kami ingin cepat memastikan kalau tetangga Imut itu adalah Semar, Bu."
Muti memberanikan diri untuk berbicara kepada ibunya. Bagaimana pun dia sudah lama tak bertemu Semar. Dia ingin bermain dan belajar lagi dengan Semar.
"Kalian nggak boleh langgar perjanjian, Muti-Mutmut! Atau lebih baik nggak usah cari Semar!" ucap Bapak.
Muti dan Mutmut terkejut dengan ucapan bapaknya itu. Mereka tak menyangka kalau Bapak akan marah seperti itu.
"Tuh, kamu denger sendiri kan?" tanya Ibu.
Keduanya mengangguk.Â
"Besok kalian berangkat cari Semar. Kalian sudah tahu di mana dia berada kan?"
"Belum, Yah. Tapi semoga yang diceritakan Imut tadi benar Semar."
***
Hari berikutnya. Pagi-pagi Muti dan Mutmut bangun awal seperti biasanya. Mereka shalat berjamaah dengan Ibu dan Bapak. Dilanjut dengan mandi dan sarapan.
"Nanti kalian hati-hati di jalan. Kalau bingung jalan pulang, jangan lupa tinggalkan jejak."
Bapak mengeluarkan tabung kecil berwarna kuning dan kuas. Kedua barang itu diserahkan kepada Muti.Â
"Pada setiap persimpangan, kalian beri cat kuning ini. Biar mudah mencari jalan ke rumah."
"Oke, Yah!"
Setelah matahari mulai terlihat, Muti dan Mutmut berpamitan kepada Ibu dan Bapak. Tas ransel yang penuh dengan bekal dan baju ganti dibawa. Meski terlihat patah membawa ransel itu, Muti dan Mutmut sangat bersemangat untuk mencari Semar. Mereka berdua berharap kalau si semut merah, Semar, memang tetangga Imut dan keluarganya.
"Rumah kami berada di dekat pos ronda di Hutan Rindang," ucap Ibu Imut.
Hutan Rindang adalah hutan yang berada di seberang sungai Hutan Hijau, tempat tinggal Muti dan Mutmut. Mereka melintasi jembatan yang terbuat bambu dan mulai lapuk.Â
"Hati-hati jalannya, Mutmut!" ucap Muti mengingatkan saudaranya itu.
"Iya, tenang saja."
Tak berapa lama mereka sampai di ujung jembatan dan mulai masuk Hutan Rindang. Suasana Hutan Rindang tak jauh berbeda dengan Hutan Hijau. Hanya saja, Muti dan Mutmut belum begitu mengenal daerah itu.Â
"Jangan lupa, cat dari Bapak tadi dikeluarkan," ucap Mutmut.
Muti yang tadi begitu menikmati perjalanan, hampir lupa kalau dia harus meninggalkan jejak di setiap belokan yang mereka lalui. Dia segera mengeluarkan cat dan kuas dan mulai menorehkan di persimpangan-persimpangan yang dilalui.
Akhirnya mereka sampai di pemukiman warga Hutan Rindang. Suasana cukup sepi. Hanya ada burung terbang yang mereka lihat.
"Hai, kalian mau ke mana?" tanya Burung kepada Muti dan Mutmut.
Muti dan Mutmut yang kebingungan mencari pos ronda, bertanya kepada Burung tadi.
"Pos rondanya di mana ya, Burung?"
"Pos ronda?"
Muti dan Mutmut mengangguk.
"Kalian mau bertemu Bu Semut yang baik itu?"
"Iya. Kami mau ke sana."
"Oh, kamu pasti teman Imut ya?"
"Iya. Kok kamu tahu?"
Burung itu tertawa pelan.
"Banyak teman Imut yang ke sana. Memang keluarga mereka baik. Bahkan dia menolong semut merah yang tersesat."
Muti dan Mutmut menyimak cerita Burung itu.
"Semut merah itu bersama adiknya. Tapi adiknya sakit dan dia sekarang sendirian."
"Hah? Adiknya kenapa?"
Burung itu terdiam.Â
"Untuk apa kamu tanyakan itu? Apa kalian mengenalnya?"
"Belum tahu, Burung. Tapi kami memang mencari Semar, teman yang kami anggap saudara. Dia lama nggak pulang."
"Kalau begitu, aku antar ke sana," tawar Burung itu.
Muti dan Mutmut pun mengikuti Burung yang terbang rendah dan menunjukkan jalan ke rumah keluarga Imut.
Ternyata saat mereka sampai, banyak semut kecil yang sedang bermain di depan rumah. Burung pun memanggil Bu Semut.
***
"Oh, kalian ke sini juga akhirnya."
Muti dan Mutmut tersenyum.
"Iya, Bu. Kami ingin mencari Semar," ucap Muti.
Bu Semut mengajak Muti dan Mutmut ke halaman belakang. Mereka berdua agak bingung karenanya.Â
"Lihatlah! Apakah dia teman yang kamu cari?" tanya Bu Semut, menunjuk ke arah sudut taman di belakang rumahnya.
"Dia menyendiri karena adiknya sudah nggak ada."
Perlahan Muti dan Mutmut mendekati semut merah yang terlihat tinggi tapi tubuhnya kurus.
"Semar, kaukah itu?" tanya Mutmut kepada semut merah yang menundukkan kepalanya. Semut merah itu mendongakkan kepala. Terlihat wajah semut yang penuh duka. Namun saat melihat Muti dan Mutmut, wajahnya menjadi cerah.
"Muti, Mutmut! Huhuuuu".
___
Branjang, 27 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H