Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terlambat Menyadari

15 September 2024   20:42 Diperbarui: 15 September 2024   20:45 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: intisari.grid.id

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna, di antara ciptaan Allah. Meski begitu, tak ada satu pun manusia yang sempurna di dunia. Hanya Nabi Muhammad Saw menjadi satu-satunya manusia teragung yang harus menjadi panutan bagi semua makhluk, apalagi manusia yang menganut agama Islam.

Beliau menjadi suri tauladan yang sempurna saat manusia harus melewati semua cobaan, baik cobaan ketika bahagia maupun sedih. 

Jika saja kita jauh dari tuntunan beliau, maka lihat saja sosok perempuan yang melahirkan kita. Betapa keriput kulitnya tak membuatnya takut untuk melawan hawa dingin. Gemericik air dari padasan, tempat tampungan air yang terbuat dari tanah liat, yang menampung air dengan suhu dingin, menyentuh kulit yang tak lagi kencang. Namun ibadahnya lebih kencang daripada kita, yang lebih muda.

"Dewi, Rinta! Sudah mau Subuh, bangun, Ndhuk!"

Setiap jelang Subuh, ketukan pada pintu kamar selalu terdengar. Membangunkan kita yang meringkuk di bawah selimut yang menghangatkan tubuh kita. Sementara perempuan yang setia membangunkan kita, membiarkan tubuhnya berselimut mukena lusuh pemberian bapak saat mereka menikah.

"Iya, Bu!" jawabku dengan sedikit rasa malas, sambil tanganku mengguncang tubuhmu, Rin!

"Apaan sih! Dingin tahu!" gerutuku.

Kamu merapatkan selimut lagi. Sedang aku beringsut dan duduk di tepi ranjang tua, tempat kita tidur setiap harinya.

"Ibu sudah nungguin. Lekas bangun!"

Ujung kakiku meraih sendal jepit yang selalu ada di bawah ranjang. Lalu kulangkahkan kaki ke luar kamar. 

Ibu tampak menunggu di kursi yang berada di ruang tengah. Dia selalu mengajak kita ke masjid, sebagai rasa syukur kepada Sang Khaliq, katanya.

"Shalat nggak harus ke masjid kan, Bu? Apalagi perempuan," ucapmu, mencoba untuk menghindari ajakannya untuk menembus pekat kabut saat Subuh.

"Memakmurkan masjid itu harus dilakukan. Masjid cuma di seberang jalan kok," ucap Ibu yang mencoba untuk memberi pengertian kepadamu, yang ngeyelan.

"Sama Dewi saja, Bu. Aku shalat di rumah!" serumu, entah sadar atau tidak, suara kerasmu mengejutkan aku dan Ibu tentunya.

"Rinta! Kalau nggak mau ke masjid ya udah, nggak usah bicara gitu sama Ibu," ucapku sengit, sambil menatapmu.

Ibu tersenyum. Tangan kanannya mengusap lenganku dan anggukannya bertanda sudah mengajakku ke masjid.

Kami berjalan dengan menahan rasa dingin. Kabut tebal menyelimuti kampung kita yang masih alami. Pepohonan menghias sepanjang pinggir jalan. Lampu penerangan hanya terpasang di beberapa titik, suasana pagi benar-benar temaram.

"Melawan nafsu itu berat, Dewi. Itu cobaan terberat manusia," ujar Ibu. 

Tak ada ucapan lagi setelahnya. Aku hanya mengingat, dalam sebuah tausiyah yang kuikuti beberapa waktu lalu, sudah selayaknya manusia itu selalu berdoa untuk berlindung dari cobaan.

"Nafsu itu bisa menjadi cobaan untuk diri sendiri dan orang ya, Bu."

"Iya, Wi. Kalau nggak bisa mengendalikan nafsu, kita bisa jadi sumber masalah orang. Makanya ada doa untuk berlindung dari tetangga yang menyakiti," ucap Ibu setelah kupancing dengan ucapanku tadi.

"Bahkan pasangan sama anak juga bisa jadi hal yang berat bagi manusia ya, Bu?"

Ibu tersenyum dan melafalkan doa masuk masjid, lalu mendirikan shalat tahiyatul masjid.

***

Kamu termangu, setelah beberapa malam tidur dalam keadaan gelisah. Sesekali kamu perhatikan jam dinding yang berdetak lambat. Seakan bertanya padaku,"Jam berapa Ibu biasa mengetuk pintu dan membangunkan kita?"

Kuperhatikan air mukamu yang sering menatap pintu kamar dengan penuh harap. Aku tahu, kita mengalami hal yang benar-benar membuat hati terpukul. 

Ketukan dan suara Ibu untuk membangunkan kita pasti selalu membuat rindu. Namun kita terlambat menyadarinya. Terlambat kalau dia telah menanamkan sebuah kebiasaan yang membuat kita rindu, saat ini dan sampai nanti, di masa mendatang yang tak kita tahu mau sampai kapan.

Kamu mulai menjalankan apa yang biasa dilakukan Ibu, sekalipun melawan hawa dingin. Dengan langkah pelan dan tatapan yang penuh harap.

"Apa yang kalian bicarakan kalau jalan begini?" tanyamu, mengulik kebiasaanku dan Ibu kalau berjalan ke masjid.

"Macem-macem sih, Rin!"

Suasana sunyi, dengan suara jangkrik dan kokok ayam dari arah yang jauh dari tempat kita berada.

***

"Semoga Ibu bahagia ya, Wi," ucapmu, saat kita menjalankan ibadah umrah di tanah suci. 

Ya, kita menjalankan umrah karena terketuk dari sebuah harapan dan mimpi Ibu yang ingin beribadah haji, namun ternyata sampai tutup usia, panggilan untuk ke sana tak diterima Ibu. 

____

Branjang, 15 September 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun