Pada akhirnya Bu Guru mendatangiku di rumah bersamamu dan teman-teman lainnya. Singkat cerita aku mau sekolah lagi. Namun sisa-sisa rasa sakit dan takut benar-benar menghantuiku. Tersiksa sekali belajar di sekolah.
Alhamdulillah selepas lulus SD, kita diterima di SMP favorit di kecamatan kita. Namun dalam pembagian kelas, aku dimasukkan ke kelas istimewa, Kelas A. Waktu kita sekolah, Kelas A itu kelas pilihan. Di sana aku bisa diterima teman-teman dengan baik, sekalipun berbeda agama. Sebuah pengalaman baru, karena selama SD semua siswa sekolah kita beragama Islam.
Begitu juga saat SMA, aku bisa diterima teman-teman dengan tangan terbuka. Sekalipun aku bukan seorang siswi pandai. Bahkan seorang teman pernah mencemooh, "soal kayak gitu tuh nggak bisa?" Waktu itu pelajaran Fisika.
Aku sama sekali tak sakit hati. Wong ya memang aku kesulitan, mau gimana lagi. Di balik sulitnya mengikuti pelajaran eksakta, aku lebih senang pelajaran kategori sosial. Meski tetap saja prestasiku tak terdongkrak saat masuk kelas IPS.
Alhamdulillah Ibu dan Bapak mendukungku. Mungkin dalam pikiran mereka, aku bisa masuk SMA favorit itu sudah luar biasa. Jadi, mereka tak menuntut lebih padaku.
Lulus SMA, aku mengikuti seleksi masuk PTN. Tanpa les atau masuk lembaga bimbingan belajar, aku bisa masuk PTN. Mendapati capaianku itu, aku sangat bersyukur. Aku bisa menunjukkan kalau aku bisa lebih daripada kalian.
Kuingat saat pengumuman seleksi masuk PTN, Bu Guru saat SD mengobrol dengan Ibu saat menunggu koran. Maklum waktu itu pengumuman seleksi masuk PTN dimuat di koran lokal.
Ketika Pak Loper koran mengantar koran itu, aku dag dig dug. Mencari halaman koran yang berisi pengumuman PTN yang kujadikan pilihan. Mencermati kertas koran dengan nomor ujian dan nama calon mahasiswa baru bukanlah hal yang mudah.
Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan namaku. Rasanya tak percaya dengan apa yang kulihat pada daftar pengumumannya. Untuk pertama kalinya namaku dimuat dalam koran. Bahagia dan haru kurasakan.
Bu Guru sedikit tercengang, aku yang saat SD dikucilkan ternyata bisa masuk PTN. Padahal anak-anak beliau tak ada yang kuliah di PTN.
Sungguh aku tak bisa menggambarkan kegembiraanku. Aku bisa lebih daripada teman-teman dan anak-anak guruku. Tentu aku bukan mau menyombongkan diriku, karena aku sadar kalau pembelajaran dari mereka itulah yang membuatku dekat dengan Ilahi dan mendapatkan apa yang menjadi hakku.