Ibu yang seharian sibuk di sawah, akhirnya pulang dan mengobrol denganku. Aku yang beberapa kali mengeluh sakit kaki karena sepatuku sudah kekecilan, memberanikan diri untuk minta dibelikan sepatu baru.
"Iya, Ndhuk. Ibu sudah punya rencana lama membelikan sepatu baru untuk kamu. Sudah lama Ibu ingin membelikannya, tapi Ibu harus nabung dulu."
Tak lama kemudian, ibu menyuruhku berdiri. Tangan ibu didekatkan dengan telapak kakiku.
"Satu jengkal, kurang satu ruas ibu jari," kata Ibu, setelah mengukur telapak kaki kiriku.Â
Aku kurang paham, apa maksudnya. Tapi yang kutahu, aku akan dibelikan sepatu baru. Sepatuku yang lama sudah rusak dan kekecilan.Â
"Besok pagi Ibu ke pasar. Ibu belikan sepatu yang ukurannya pas."
"Apa nggak lebih baik kalau aku ikut ke pasar, Bu?" tanyaku.
"Nggak usah, Ndhuk. Ibu ke pasar kan naik mobil Pahingannya Pak Dadang. Harus bayar. Nanti kalau kamu ikut Ibu, uangnya bisa kurang."
Ibu memang tidak punya banyak uang. Makanya Ibu kalau membeli sesuatu pasti ke pasar, terutama kalau pasaran Pahing. Kata Ibu, harga barang di pasar lebih murah.Â
Aku sendiri tidak peduli, di mana perlengkapan sekolah dibeli oleh ibu. Memang tak sebagus milik teman-teman, tapi kurasa manfaatnya sama saja. Memiliki barang yang sederhana tapi tetap kusyukuri.