"Cemas kalau antri, takut kalau mau lepas dari obat seratus persen."
"Berarti Mbak cemas begitu karena ada pemicunya, ya?"
Aku mengangguk.
"Nggak apa-apa. Insyaallah Mbak akan lebih baik. Jangan lupa menerima kalau lagi cemas, napas diatur. Banyak berbuat baik juga, ya! Itu akan membuat lebih bahagia."
***
Malam ini. Kupandangi si bungsu yang sudah tertidur pulas. Setiap hari aku harus memijiti kakinya. Dia memang lagi aktif-aktifnya.Â
Wajah bersih, pipi chubby terlihat tenang. Kukecup kedua pipi, kening dan ubun-ubunnya. Kulafalkan beberapa surat penenang hati untuknya, biar tidurnya nyenyak dan tenang. Kuelus rambut tebalnya yang sedikit panjang.Â
"Dik, Ibu menyayangimu. Ibu harap kamu dan mbak-mbakmu bisa menjadi kebanggaan Ibu. Jadilah manusia sukses dunia-akhirat."
Mataku berkaca-kaca. Begitu haru terasa karena sampai saat ini bisa melihatnya terus tumbuh.
"Ibu harap kalian tidak malu memiliki ibu seperti ibu ya, Nak."
___