Ayah jarang sekali menemaniku untuk belajar. Ayahku sibuk bekerja untuk menyekolahkan aku dan kakak. Jadi, aku jarang belajar kalau di rumah sekarang ini.Â
Terkadang aku berpikir untuk ikut kakakku, bersekolah di pondok. Tapi ayah belum mengizinkan. Padahal aku sangat senang kalau ada kakak yang mengajakku bermain dan belajar.Â
Hari yang sangat kunanti adalah saat kakak libur semester. Ada yang menemaniku saat ayah bekerja. Rasa kangenku pada kakak terobati. Ayah jadi lebih tenang dalam bekerja.Â
Meski aku kehilangan ibu, tak bisa bertemu dengannya lagi, aku harus bersyukur karena ada ayah. Itu pesan dari nenekku ketika aku dimarahi ayah karena nilai tugas sehari-hari jelek.Â
Aku jadi berpikir untuk menyobek kertas kalau pada kertas itu nilainya jelek. Ideku semula berjalan lancar. Tetapi akhirnya ayah tahu juga kalau nilaiku banyak yang jelek.Â
Waktu itu ayah mengirim WA kepada Bu Cahyani, guruku. Ayah bertanya kenapa aku tak pernah mendapatkan pelajaran sama sekali. Tentu saja Bu guru mengatakan hal yang sebenarnya, kalau setiap hari pelajaran seperti biasa. Ayah semakin kesal padaku.
"Ayahmu sangat menyayangimu, Le. Ayahmu ingin kamu menjadi anak yang membanggakannya. Jadi, kamu harus rajin belajar ya!" nasehat nenek.
"Iya, Nek. Tapi aku kesulitan kalau belajar sendiri."
"Nanti nenek akan bicara sama ayahmu. Biar dia meluangkan waktu untuk mengajarimu di rumah."
Beberapa hari kemudian, ayah sering mengajariku setelah shalat Subuh. Kalau malam biasanya ayah beristirahat dan menyiapkan barang-barang yang akan dijual di sebuah objek wisata di Gunungkidul ini.Â
Perhatian ayah sangat berharga bagiku. Ada ayah yang menggantikan ibu untuk mendampingiku belajar. Aku berjanji akan menjadi anak kebanggaan ibu dan ayah. Seperti harapan mereka.