Selain memantau makanan, secara rutin tekanan darah ibu kami cek. Alat tensimeter kami beli untuk mengecek tekanan darahnya. Dengan begitu kami lebih tenang dan bisa memberikan pengertian kepada ibu kalau makan diatur, pasti tekanan darah akan stabil.
Terapi demi terapi, termasuk diet makan terus dilakukan. Meski ibu mengeluh kalau makanan tak enak dan hambar. Alhamdulillah, akhirnya kondisi ibu menjadi lebih baik.
Dari waktu ke waktu, ibu melakukan aktivitas ringan seperti membaca, jalan ke teras rumah menggunakan tongkat, berjemur di pagi hari. Dan yang pokok, ibu lebih getol dalam shalat, puasa, zakat dan shadaqah.Â
***
Setelah ibu mulai membaik, aku bersama suami dan anak tak lagi tinggal di rumah ibu. Semenjak menikah, kami memang menumpang di rumah ibu. Namun, pada akhirnya, kami membeli tanah delapan ratus meter persegi dan mulai mendirikan rumah. Tak jauh dari rumah ibu.
Meski rumah belum selesai seratus persen, kami nekad tinggal di sana. Dari seluruh luas tanah, enam puluh persennya masih kosong. Oleh suami, lahan kosong itu ditanami tanaman buah. Kelengkeng, mangga, alpukat, dan pepaya.Â
Kemudian, suami tertarik untuk membeli bibit buah Tin dari temannya. Bibit buah Tin dirawat dengan baik. Namun butuh kesabaran dalam memanen buah Tin matang.
Pertama kali berbuah, dalam satu pohon Tin yang mungil, hanya ada satu biji. Tentu saja aku sangat senang, pohon Tin bisa berbuah. Saat matang, suami memetik dan memberikan padaku.
"Buah Tin-nya buat ibu ya, Mas. Pasti ibu senang bisa menikmati buah ini," ucapku saat menerima buah kecil bulat itu.
Kubawa dan kuserahkan buah Tin matang kepada ibu. Kuingat, ibu sangat takjub saat buah Tin yang mulai memerah keunguan itu kuserahkan.
"Ini benar buah Tin?" tanya ibu.