Rasanya untuk waktu-waktu ini, jarang sekali anak yang rambutnya menjadi sarang kutu. Tak seperti zaman dulu. Saat masih kecil, dijamin anak sekelas harus merasakan penderitaan, kepala gatal-gatal dan rambut lengket karena kutu rambut.
Kalau sudah seperti itu, pasti sepulang sekolah, anak-anak akan disisir suri oleh ibu masing-masing. Sisir suri itu sisir rambut khusus untuk menyingkirkan si kutu rambut yang membandel.Â
Hampir setiap sore, para ibu berlomba-lomba berburu kutu si anak. Termasuk ibu yang konsentrasi penuh untuk menyingkirkan kutu rambut di kepalaku.Â
Saking kesalnya ibu pada sang kutu rambut, rambut tebalku harus dipangkas. Potong seset. Potongan pendek yang menyerupai potongan rambut anak laki-laki. Tentu aku kesal sekali. Rambut panjangku tinggal cepak.Â
Bagaimanapun aku kepingin rambut panjang seperti rambut teman-teman. Tetapi ibu tak bisa dilawan.Â
Dengan santainya ibu bilang kalau lebih baik aku berambut pendek daripada kutuan. Bagi ibu, rambut panjang terlihat jelek akibat telur kutu rambut atau anak kutu yang menempel erat di rambut.
Hmmm, hari gini aku mengenang rambut kutuan. Sudah pasti ada penyebabnya. Tak lain dan tak bukan karena anak perempuanku dan sepupunya juga merasakan deritaku di masa kecil. Kena kutu rambut! Agak geli juga saat mengetahui itu.Â
Rasanya aku ingin melakukan hal yang sama bagi anakku, Rema. Rema diambil dari gabungan nama bunda dan ayahnya. Renita dan Mahardika. Semula aku agak protes karena nama anak tak punya arti apapun. Ternyata suami bilang kalau Rema itu artinya rambut.
Sewaktu kecil, rambut Rema memang cukup tebal. Sampai kini, rambut Rema tetap tebal dan indah.Â
"Persis rambut bundanya," itu yang diucapkan Eyang Uti-nya Rema.