Setiap kali suami mengajak ngobrol, aku tidak nyambung. Itu sering dikatakan suamiku. Ya, mau bagaimana lagi, aku sibuk dengan pikiranku, yang cemas ini-itu.
***
Kecemasan berlebih membuatku malas melakukan sesuatu. Mau ke mana saja juga malas. Bahkan ketika diajak ke pantai, aku panik luar biasa dan akhirnya batal ke sana.Â
Tak hanya itu, setiap ada kabar duka, keringat dingin keluar karena rasa takut yang berlebih. Dulu suamiku pernah mengabarkan kalau tetangga meninggal dunia tengah malam, otomatis aku terbangun, sekujur tubuh dingin. Aku kesal sekali pada suamiku.
"Lain kali kalau ada kabar seperti itu, jangan bangunkan aku. Aku nggak bisa tidur lagi," ucapku sambil menahan tangis.
Aku merasa tak dilindungi olehnya. Padahal dia tahu, kalau aku sangat terganggu dengan suara keras, kabar buruk dan sebagainya.
Ketika tetangga menyetel soundsystem keras-keras di tengah malam, juga panik. Takut kalau tak bisa tidur. Dan benar, aku tak bisa tidur. Rasanya tersiksa mengalami itu semua.
Karena merasa tak bisa menolong diriku sendiri, kuputuskan aku konsultasi ke psikiater. Itupun sebenarnya tak didukung oleh suami.Â
"Kalau ke psikiater, nanti dikasih obat. Obatnya itu narkoba lho," suamiku memperingatkanku.
Tak kupedulikan hal itu. Aku hanya ingin hidup normal lagi. Itu saja. Aku tak mau kalau anak-anak kehilangan kasih sayangku karena aku sibuk dengan gangguan yang kualami.
Dalam bahasa mudahnya, karena sayang diri sendiri dan keluarga, aku menghilangkan rasa malu berkonsultasi kepada psikiater. Kalau tak minta pertolongan ke psikiater, pasti selamanya akan tersiksa dan tubuhku semakin kurus kering.