Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Inspirasi dari Bu Lintang

25 Agustus 2023   17:30 Diperbarui: 25 Agustus 2023   17:40 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kulihat putriku, Aisyah, kini sudah dewasa. Sudah lulus kuliah. Semakin cantik saja dia. Lebih cantik daripada aku.

Aku sangat bersyukur, setelah lulus kuliah, dia bekerja. Profesinya adalah jenis pekerjaan yang diidam-idamkannya sejak kecil, menjadi guru. Ya, meski dia hobi melukis tapi itu tak menyurutkan cita-citanya untuk menjadi guru. 

Hari ini adalah hari pertamanya mengajar. Dengan penuh semangat, dia berangkat ke sekolah. Seragam khakhi, jilbab dengan warna senada, sepatu warna hitam mengkilat dia kenakan. 

Sedangkan untuk riasan wajah, dia lebih memilih riasan natural. Baginya penampilan sederhana sudah cukup untuk dirinya. Dia berpendapat bahwa penampilan guru tidak perlu terlalu norak. 

Dengan senyum mengembang, dia berpamitan padaku. Diciumnya punggung tanganku.

"Aku berangkat dulu ya, Ma!" pamitnya.

"Hati-hati, Aisyah." 

Aku hanya memberikan doa restu saja, semoga di hari pertamanya mengajar dan hari-hari berikutnya, dia diberikan kemudahan dan kelancaran.

***

Kuingat saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dia kurang percaya diri saat bergaul dengan teman-temannya. Padahal kalau dilihat dari fisiknya, putriku itu cantik, kulit bersih dan tinggi. Aku sering mendandaninya bak Cinderella. 

Aku sangat bangga dan menyayanginya. Kebanggaanku kepadanya semakin bertambah saat dia sering mewakili sekolah atau kecamatan untuk lomba melukis. Dari perlombaan itu, tak jarang dia mendapatkan beasiswa dari Dinas Pendidikan Kabupaten.

Setiap ada acara keluarga, aku dan saudara-saudara biasanya membicarakan tentang anak. Dengan bangganya aku menceritakan tentang Aisyah dan prestasinya. Tak jarang keluarga besar ikut memuji Aisyah dan aku yang berhasil mendidik anak. 

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya," puji Eyang Putri Aisyah di depan saudara-saudara.

"Iya, ibunya pintar pasti anaknya juga pintar," seloroh Budhe Tiara.

Namun kebanggaanku kepadanya harus diuji dengan prestasi akademik Aisyah di sekolah. Pada awal masuk sekolah, juara satu sering diraihnya. Suatu saat, di kelas IV semester II, dia tak bisa mempertahankan prestasinya itu. Dia hanya menduduki juara III. Sangat memalukan bagiku.

Dengan wajah tertunduk, Aisyah menemuiku di depan kelasnya. Aku sudah mengetahui hasil kejuaraan kelas IV karena diumumkan dalam apel pagi di halaman sekolah.

"Maaf, Ma. Aku cuma juara III. Ini hadiahnya," ucap Aisyah pelan. 

Aisyah menyerahkan hadiah itu kepadaku. Merah padam mukaku akibat menahan amarah. Kalau saja aku dalam posisi berada di rumah, pasti sudah kumarahi Aisyah seperti yang sudah-sudah. 

Ketika ada jadwal ulangan, sering kutanyakan bagaimana hasilnya. Kalau nilai baik, segera saja aku meluapkan kegembiraanku dengan memposting hasil koreksian dari gurunya dalam story WhatsApp. Beragam komentar atas prestasi Aisyah membuatku semakin merasa telah sukses menjadi orang tua. Akan tetapi, jika nilai ulangannya jelek, sudah pasti dia akan menangis karena amarahku.

Aku selalu membandingkan prestasinya dengan prestasiku saat sekolah dulu. Memang aku tak pernah absen menjadi juara kelas, bahkan juara umum di tingkat SMP maupun SMA. Kuliahku pun lancar dan lulus dengan predikat Cumlaude. Aku menginginkan Aisyah mengikuti jejakku. 

Kuterima hadiah Aisyah dengan bungkusan kertas coklat bergaris dan bertuliskan Juara III. Dalam batinku, aku tak membutuhkan hadiah dari sekolah. Yang kubutuhkan adalah prestasi Aisyah. Aku lebih memilih Aisyah tak mendapatkan hadiah, asalkan dia juara I.

Di saat aku kesal kepada Aisyah, Guru Kelas Aisyah, Bu Lintang berjalan menuju ruang kelas IV dengan senyum khasnya. Di tangan kanannya ada tumpukan rapor para siswa.

"Mari, ibu-bapak segera masuk ruang kelas. Akan segera saya bagikan hasil belajar siswa," ucap Bu Lintang menyapa dan mengajak kami, para orang tua atau wali siswa untuk masuk ruang kelas IV.

Suasana pembagian rapor saat itu terasa menyesakkan dadaku. Aku sebelumnya membayangkan kalau Aisyah akan mendapatkan Juara I seperti biasanya. Ternyata hanya mimpiku saja. 

Bu Lintang segera membuka acara pembagian rapor. Beliau mengucapkan terima kasih atas kehadiran kami dalam pembagian rapor. Tak lupa beliau berterima kasih atas kerjasama antara guru, sekolah dan orang tua atau wali siswa dalam kelancaran proses pembelajaran selama satu tahun. 

Berikutnya, Bu Lintang memberikan petuah bijak kepada kami berkaitan dengan prestasi para siswa.

"Berkaitan dengan prestasi para siswa yang mungkin naik atau turun, saya minta ibu atau bapak tak kecewa. Tak perlu menyikapi secara berlebihan nggih. Putra-putri ibu-bapak harus disupport terus. Jangan sampai ibu-bapak kecewa lalu marah pada putra-putrinya. Yang namanya prestasi itu kadang di atas, kadang di bawah," begitu ucap Bu Lintang.

Aku dan para orang tua siswa memerhatikan penjelasan Bu Lintang. Sesekali orang tua atau wali siswa lainnya menimpali penjelasan Bu Lintang.

"Kalau boleh saya cerita, saya juga memiliki anak yang sekolah nggih, ibu-bapak. Saat penerimaan rapor, saya hanya melihat nilainya seperti apa. Saya tidak marah. Tapi kalau pas ujian lalu kebetulan nilainya jelek, ya saya hanya tanya anak saya, kira-kira naik kelas apa nggak nantinya. Pertanyaan saya lebih menekankan bahwa anak saya membuat kesalahan karena belajarnya kurang serius. Dengan pertanyaan itu, dia jadi berpikir untuk belajar lebih giat," tutur Bu Lintang.

"Jadi, saya ingin ibu-bapak juga seperti itu. Khawatirnya kalau ibu-bapak marah malah menjadikan putra-putrinya drop psikisnya."

Mendengar penuturan Bu Lintang, tak terasa air mataku mengalir. Terbayang kemarin-kemarin aku selalu marah kalau nilai Aisyah jelek. Ternyata seorang guru yang memiliki anak pun tak terlalu memikirkan peringkat atau rankingnya.

"Percayalah dengan putra-putri ibu-bapak. InsyaAllah mereka akan berprestasi dan sukses di bidang masing-masing," tutur Bu Lintang lagi.

Lalu Bu Lintang menyebutkan kalau tidak semua anak harus menguasai semua ilmu pengetahuan. Ada anak yang berbakat di bidangnya masing-masing. Itulah yang harus diasah terus. 

Beberapa nama anak yang berbakat menulis, bercerita, melukis, olahraga dan menari disebutkan Bu Lintang satu persatu. Bu Lintang begitu menghargai prestasi para siswa, termasuk siswa yang tidak masuk ranking tiga besar. Dari sekian nama siswa, Aisyah disebut berbakat dalam menulis, selain dalam bidang melukis. 

Dari cerita yang kudengar sehari-hari di rumah, aku menangkap kalau Aisyah sangat mengidolakan Bu Lintang. Aisyah senang karena bisa belajar menulis dari Bu Lintang. Dengan ceria, dia menceritakan kalau karya-karyanya dinilai bagus dan sangat berkesan bagi Bu Lintang. 

***

Ah, entahlah. Penuturan Bu Lintang membuatku terharu, sekaligus merasa bersalah. Membayangkan raut wajah takut Aisyah saat kumarahi. Mulai saat itu aku banyak belajar dari Bu Lintang. Menerima kelebihan dan kekurangan Aisyah. 

Tak perlu juara, asal Aisyah memiliki kemauan belajar dan mengembangkan bakatnya. Itu sudah cukup.

Kemampuannya dalam menulis masih berlanjut sampai sekarang. Beberapa karyanya dibukukan dalam bentuk buku fisik maupun e-book.

"Aku terinspirasi Bu Lintang, Ma! Beliau mengajak aku dan teman-teman untuk belajar menulis," ceritanya saat kutanya, apa yang membuatnya aktif menulis.

***

"Ma, ternyata Bu Lintang itu Kepala Sekolah di sekolahku!" cerita Aisyah sepulang kerja.

Rona bahagia terpancar di wajahnya ketika bertemu kembali guru kesayangannya.

Branjang-Melikan, 23 Agustus 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun