Saat duduk di Sekolah Dasar, aku ingat kalau pernah menjadi duta mengarang tulisan. Menjadi duta mengarang, bukan berarti menjadi siswa yang juara lomba mengarang. Yakinlah, aku tak pernah mendapat penghargaan apapun dalam mengarang tulisan.
Mengenai alasan kenapa dulu aku terpilih sebagai duta mengarang, aku kurang tahu juga. Aku tak berusaha mencari informasinya.
"Kamu sering diajak jalan-jalan sama ibu dan bapak 'kan? Coba kamu tuliskan pengalamanmu di kertas ini ya!"
Kurang lebih itu yang kuingat dari perkataan Guru Bahasa Indonesia waktu itu. Bu guru menyodorkan kertas folio bergaris padaku.
"Pengalamannya ditulis di kertas ini ya! Yang banyak ceritanya," pesan Bu Guru.
Akhirnya, dengan seadanya, kutulis pengalamanku di kertas folio bergaris itu. Aku tak begitu ingat, berapa lembar dalam menuliskan karanganku.
Setelah siap, kuserahkan kepada Bu Guru. Kuberharap Bu Guru menerima dengan baik. Tetapi, tiba-tiba saja Bu Guru meminta temanku menuliskan ulang karanganku itu pada kertas lain. Rasanya kecewa juga. Sudah capek-capek menulis segala hal yang kuingat saat bepergian bersama ibu dan bapak, tiba-tiba saja tulisanku diganti dengan tulisan orang lain.
Meski namaku yang tertera di kertas karangan yang dikumpulkan, tetap saja rasa kecewa itu ada. Kenapa dengan tulisanku? Kalau sudah tahu tulisanku jelek, kenapa tidak memintaku menulis ulang saja?
Pada akhirnya, rasa kecewa itu kupendam. Bu Guru tak pernah tahu kekecewaanku.
***