Kuingat, Senin jelang tanggal tiga puluh Januari, tiga tahun yang lalu, suara lirihmu mengurungkan langkahku untuk segera ke sekolah. Padahal bel sudah berbunyi, tanda upacara mau dimulai.
Segera aku menuju ke dalam rumah.Â
"Ada apa, Bu?" Tanyaku. Sebenarnya aku cukup panik, ingat saat pertama kali kau stroke, suaramu juga lirih. Aku khawatir kalau terjadi sesuatu denganmu.
"Kae, bapakmu arep kepiye? Mbok kowe nyanggone Sulis. Kon mresakke bapakmu..." begitu ucapmu dengan suara lemah.Â
Kulihat kekhawatiran di wajahmu. Aku paham kalau kau pasti memikirkan sakitnya suamimu, sementara kau tak bisa merawat. Jangankan untuk merawat suamimu, untuk mengurusi dirimu sendiri saja sulit. Kau memang membaik setelah terapi pasca stroke, tapi tangan kananmu tak bisa untuk beraktivitas dengan leluasa. Ke mana-mana harus pakai tongkat.
Aku mengecek kondisi bapak di kamar. Tubuhnya tertutup selimut tipis bergaris hitam putih. Karena kondisi bapak yang tak bisa diboncengkan motor, aku keluar rumah dan menuruti perkataanmu. Ke rumah mas Sulis, meminta bantuannya untuk mengantar bapak. Maklum mas Sulis yang punya mobil dan bisa menyetir.
"Aku ke rumah mas Sulis dulu, Bu". Pamitku kepadamu.
Kau mengangguk pelan, wajah khawatir masih terlihat.Â
***
Kuhampiri motorku yang terparkir di depan rumahmu, rumah di mana aku dibesarkan. Kustarter motor dan melajukan motor dengan cepat. Tapi sayang, saking aku terburu-buru, aku kurang hati-hati dan terjatuh di jalan. Kebetulan jalan di depan rumah baru saja diaspal dan tertutup pasir.