Beberapa hari lalu, pagi-pagi menjelang berangkat kerja, tiba-tiba anak kedua saya ribut. Dia menghampiri saya.
"Bu, ini gimana ngerjakannya?" Disodorkanlah buku Matematika.Â
Saya hela nafas panjang. Sudah mau berangkat sekolah kok baru ingat PR. Padahal semalam sudah saya suruh belajar dan mengecek kalau ada PR. Dengan santainya anak saya bilang kalau tak ada PR. Mau tak mau, saya sedikit ngomel mengajarinya dalam mengerjakan PRnya.Â
"Ada berapa soal PRnya, mbak?" Tanya saya.
"Lima,"jawabnya singkat.
"Oke. Ibu kasih tahu cara mengerjakannya, terus soal lain kamu kerjakan sendiri ya!" Saya bacakan soalnya, biar anak saya paham dan mengajari langkah pengerjaan pada soal nomor satu.
**
Mengapa saya melakukan hal itu?
Saya tidak mau kalau PR anak saya, yang mengerjakan malah saya ---ibunya---. PR anak bukan PR ibu. Artinya, PR anak bukan ibunya yang mengerjakannya. Saya hanya membimbing saja. Bagaimanapun saya ingin anak saya memiliki tanggung jawab atas pekerjaannya sendiri.Â
Sehari-hari saya juga menjadi guru. Meski kini tak mengajar di sekolah tempat anak saya bersekolah. Saya menekankan bahwa proses belajar lebih penting daripada hasilnya. Percuma kalau siswa hasil pekerjaan bagus, tetapi siswanya tidak paham langkah-langkah pengerjaan tugasnya.