"Dari kecil nggak bisa gambar dan mewarnai. Tapi sejak 1 tahun kena bully saat kelas 6 jadi hobi menggambar, dik." Cerita seorang tetangga yang kini merantau. Dia menceritakan perihal putrinya yang sering di-bully. Sampai akhirnya saat kelas 3 SMA minta diantar ke psikiater.
Saya yakin, sebagai ibu, pasti tetangga saya merasa sangat sedih karena putri yang dibanggakan down. Hingga terpikir ingin mengakhiri hidupnya.
Kini sang putri sudah kuliah. Dan kisah hidupnya dituangkan dalam sebuah buku. Saya sendiri agak lupa judulnya. Buku itu merupakan jawaban dari tantangan gurunya saat SMA.
Saya turut prihatin saat mengetahui hal yang dialami putri tetangga saya.Â
"Ya Allah... Untung dibawa ke psikiater, mbak. Ke psikiater bukan berarti pasien itu gila seperti dalam pikiran orang awam. Tapi pasien yang ke psikiater itu karena merasa hidup nggak nyaman dan ingin hidup normal seperti sedia kala." Komentar saya.
Menjadi keluarga yang mengalami gangguan jiwa sungguh berat. Saya yakin itu. Ada rasa kecil hati atas yang dialami si penderita. Belum lagi pandangan orang yang menganggap itu sebagai aib. Apalagi kalau sudah dibawa ke psikiater.
Psikiater dianggap sebagai dokter yang menangani orang gila. Padahal bukan seperti itu. Ini terjadi karena masyarakat sangat awam dan tidak menyadari kesehatan jiwa.Â
Dalam anggapan masyarakat, sehat itu badannya selalu fit. Tanpa berpikir kalau kesehatan jiwa sangat berpengaruh terhadap kesehatan raga seseorang.Â
***
Kisah lain.
Selama beberapa bulan, teman saya lainnya yang merasa keseharian tak nyaman pun memberanikan diri ke psikiater.Â
Ketika datang ke rumah sakit, pada jadwal praktek psikiater, teman saya melihat para pasien yang antri dan menunggu kedatangan psikiater.Â
Secara sekilas, dari cerita teman saya, rata-rata mereka tampak biasa. Namun ternyata ada keluhan, tak bisa tidur, asam lambung tinggi, dada sesak dan perasaan takut tak berkesudahan. Ada pasien yang sudah dua tahun berobat pada psikiater. Kini keadaan sudah membaik.
Secara detail, keluhan teman saya berawal dari naiknya asam lambung yang menyebabkan panas luar biasa di dada. Selain itu dada terasa sesak. Waktu itu masih masa pandemi sehingga teman saya merasa khawatir kalau dia terpapar covid 19.
Rupanya ketakutan itu memperparah keluhan asam lambungnya. Hingga asam lambung tak juga mereda. Padahal sudah beberapa bulan dirasakannya. Teman saya benar-benar drop jadinya. Memikirkan rasa sakit yang tak kunjung sembuh dan memikirkan bagaimana nasib si kecil kalau dia sakit.
Karena tak kunjung membaik, dengan berbagai pertimbangan, teman saya ke psikiater. Sebuah keputusan yang semula tak mendapat restu dari suaminya.
Namun, karena dia ingin segera sehat, dia nekad ke psikiater. Suaminya hanya mengantar sampai luar rumah sakit. Tak mau masuk ke ruang pemeriksaan.Â
***
Psikiater mendiagnosis kalau teman saya mengalami gangguan cemas menyeluruh. Penyebabnya saraf otonom bekerja terlalu keras hingga menyebabkan stres dan asam lambung tak kunjung tenang.Â
"Asam lambung tidak menyebabkan kematian. Tetapi lalat malah bisa mematikan kalau lalatnya nempel di truk." Begitu canda psikiater saat mendiagnosis teman saya.Â
Teman saya yakin kalau Psikiater mengatakan hal tersebut karena memang kebanyakan penderita gangguan cemas akan merasa takut. Bahkan mendengar kabar duka ---orang meninggal dunia--- bisa ketakutan dan keringat dingin. Tak masuk akal, namun seperti itulah yang kebanyakan dialami penderita gangguan kecemasan.
Oleh psikiater, teman saya diberi obat racikan harus dikonsumsi sehari dua kali. Pesan dari Psikiater, obat untuk asam lambung tetap dikonsumsi selama dibutuhkan. Selain itu, beliau berpesan agar mengurangi penggunaan obat secara pelan.Â
"Kalau sudah merasa enakan, obatnya diminum satu kali sehari ya, mbak. Terus kalau terus membaik, seminggu dua kali dan seterusnya. Biar nggak ada gejala putus obat. Nanti pelan-pelan, mbak-e bisa lepas dari obat".
Alhamdulillah keadaan teman saya semakin membaik. Hanya saja, dia harus menjaga pola makan, pola pikir, dan pola hidup. Dia tak mau tergantung sama obat-obatan terus.Â
Selain itu, dia menyimak penjelasan dan edukasi psikiater lewat Instagram maupun video-video dari channel dokter Andri Psikosomatik yang turut membantu pemulihannya.Â
Saya menuliskan kisah anak tetangga dan pengalaman teman saya ini sebagai edukasi juga bagi para pembaca bahwa berkonsultasi ke psikiater bukanlah hal yang tabu. Dari psikiater, pasien gangguan cemas dan gangguan jiwa lainnya bisa dibantu. Pelan-pelan akan bisa beraktivitas dengan lebih nyaman.
Tentunya saya berharap dan banyak berdoa, putri tetangga dan teman saya tidak kambuh lagi karena gangguan seperti itu bisa kambuh kalau tidak hati-hati dalam menjaga pola makan, pola hidup dan pola pikir.Â
Semoga bermanfaat.
Branjang, 9 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H