Mempelajari tentang kurikulum merdeka melalui platform Merdeka Mengajar tentu membutuhkan waktu dan kesabaran tinggi. Tak jarang guru-guru mengulang modul dalam bentuk video atau file lain, jika pada saat mengisi post test ternyata belum lolos.Â
Materi kedua yang saya pelajari adalah tentang Kurikulum Merdeka. Ada beberapa refleksi yang coba saya ulas di sini.Â
Ada sebuah refleksi yang harus dituliskan. Pertanyaan pertama, jika dibandingkan saat Ibu dan Bapak Guru menjadi murid dahulu dan murid-murid sekarang, hal apa saja yang berbeda?
Tentu saja saya menjawab sesuai pengalaman selama sekolah maupun sudah bekerja di instansi sekolah. Saya membandingkan perbedaan tidak secara menyeluruh. Saya yakin, setiap guru atau orang memiliki pandangan tersendiri tentang perbedaan saat menjadi murid dibandingkan dengan murid-murid zaman now.
Tahun 1998an saya mulai masuk SD swasta. Di sana ada Bu Binti yang sabar membimbing agar para siswa baru di kelas 1 bisa membaca. Tentunya pelajaran membaca masih menggunakan teks "Ini Budi" yang melegenda itu. Pengenalan huruf masih dipelajari pada awal masuk kelas 1.Â
Tentu saat itu saya belum memahami apa maksud dari kurikulum, RPP, dan sebagainya. Tapi saya ingat, dulu adanya istilah GBPP. Itu saya ketahui dari perangkat pembelajaran yang dibuat ibu. Lagi-lagi saya kurang paham tentang kurikulum. Tahunya hanya belajar, gurunya memberikan materi pelajaran, baik itu menulis, membaca dan berhitung.
Sedangkan beberapa tahun terakhir, kurikulum yang dipergunakan sebagai acuan pembelajaran adalah Kurikulum 2013. Dalam buku, teks pelajaran sudah bermacam-macam sehingga tak jarang membuat orang tua siswa sudah bingung duluan ketika anaknya yang baru masuk SD ternyata belum bisa membaca. Bahkan hafal huruf alfabet saja ada yang kesulitan.
Mau tak mau orangtua siswa mendaftarkan putra/putrinya untuk les privat atau bimbingan belajar agar anaknya bisa membaca dengan lancar.
Perbedaan kedua, materi untuk tingkat SD sudah cukup sulit. Di semua mata pelajaran. Bahkan ada salah satu sahabat saya yang sering curhat kalau dia kesulitan dalam mendampingi buah hatinya untuk belajar.
"Materi pelajaran sudah sangat beda dengan materi saat saya sekolah ya, Bu" curhatnya. Saya tersenyum. Saya paham bahwa orang tua akan kesulitan membantu putra/putrinya dalam belajar. Apalagi saat masa pandemi mengharuskan anak belajar di rumah. Hampir dua tahun para siswa kurang sentuhan dari guru mereka.
Semakin sulitlah dalam mengajar, membimbing dan mendidik siswa. Itu tak hanya terjadi di luar Jawa yang fasilitas internet sangat terbatas. Di pulau Jawa saja masih banyak kendala.
Namun dibalik sisi negatif pembelajaran jarak jauh selama pandemi covid 19, para siswa juga semakin lihai dalam mengoperasikan gawai sebagai salah satu sumber belajar karena keterbatasan kemampuan orangtua dalam membersamai belajar. Sedangkan saya sendiri mengenal gawai setelah bekerja. Sangat beda cara belajarnya.Â
Pertanyaan kedua, setelah mempelajari materi ini, hal apa yang paling semangat ingin Ibu dan Bapak Guru coba?
Penyusunan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan sejak dulu sudah disesuaikan dengan lingkungan tempat siswa belajar. Hanya saja memang penyusunan kurikulum belum melibatkan siswa. Pihak pengembang kurikulum tidak menanyakan minat siswa tetapi sudah memberikan pilihan untuk kegiatan intra maupun ekstra kurikuler.
Sekarang, bersama rekan-rekan kerja, Komite Sekolah dan perwakilan orangtua siswa mencoba untuk menawarkan ekstra olahraga dan membatik sederhana. Harapannya kesemuanya bisa memacu siswa untuk belajar yang menyenangkan.
Pertanyaan ketiga, Ibu dan Bapak Guru, ceritakan yuk tentang waktu favorit bersama murid! Waktu favorit ketika sedang melakukan apa?
Selama tujuh belas tahun menjadi pendidik, ada banyak cerita yang berkesan bagi saya, terutama saat membersamai murid.
Pertama, saat sekolah tak memiliki guru olahraga, kekurangan guru kelas, saya mengampu semua mata pelajaran di kelas IV. Ya meski sangat terbatas kemampuan saya. Maklumlah, guru kelas SD harus mengajar Pendidikan Al Islam, Kemuhammadiyahan, Tematik, Mulok (Bahasa Jawa), Matematika. Total jam melebihi 40 jam pelajaran perminggunya.
Meski begitu saya merasa bisa luwes dalam membagi waktu. Termasuk belajar di luar kelas. Saya mengajak siswa belajar di hutan kayu putih di pojok dusun atau ke sungai yang debit airnya selalu berkurang saat musim kemarau tiba.
Kedua, saat masa pandemi dan memberikan tugas mengarang dalam Bahasa Jawa. Sangat beragam ceritanya. Malah salah satu karya siswa bisa saya abadikan dalam bentuk karya cerita anak dengan judul Layang Kagem Bu Guru. Cerita anak itu saya publikasikan di Kompasiana, wadah para penulis dari Sabang sampai Merauke.
Ketiga, saat saya mengajar di mana ada anak kandung saya. Itu sangat berkesan bagi saya pribadi. Sekaligus menjadi sebuah tantangan karena saya sempat khawatir kalau nantinya saya tidak bisa obyektif.Â
Ternyata itu terlalui dengan baik. Saya merasa bersyukur karena dipercaya oleh Kepala Sekolah untuk mengampu kelas di mana ada anak kandung saya. Kepercayaan dari beliau merupakan penghargaan yang saya nilai sangat baik.
Branjang-Melikan, 30 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H