Kau ingat, saat duduk di bangku SMA kita begitu dekat. Meski sebenarnya tak ada kata sepakat untuk menjalin hubungan istimewa antara kita. Aku dan kau hanya sebatas teman, tetapi dekat. Bukan teman tapi mesra, sebuah status yang dikenalkan oleh Duo Maia.
Kita hanya bicara tentang kesulitan-kesulitan belajar. Jelas aku yang sering bertanya banyak hal padamu. Kau lebih cerdas daripada aku. Ya maklumlah aku masuk SMA juga berangkat dari keberuntungan.
Dulu aku hanya masuk kategori siswa cadangan saat PSB(Penerimaan Siswa Baru). Sekarang istilahnya menjadi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).Â
Terus terang aku tak terlalu banyak berharap bisa masuk SMA favorit di Gunungkidul ini. Makanya aku santai saat waktu yang ditentukan aku harus ke SMA Wonsa untuk mendapatkan kepastian, bisa diterima ataukah tidak menjadi siswa di SMA itu.
Alhamdulillah... Allah memberiku jalan mudah untuk masuk SMA Wonsa. Dan mengenalmu tanpa melihatku sebagai siswi pas-pasan dalam aspek kognitifku adalah sebuah anugerah.
Ya, aku merasa diterima di SMA kita. Tak hanya kau. Teman-teman lainnya pun sangat baik hati padaku. Mau berkawan denganku. Bapak ibu guru dan karyawan pun demikian.
Di SMA, aku masuk Rohis. Entah karena dorongan apa. Yang pasti waktu itu siswi yang berjilbab sudah cukup banyak. Dari kegiatan Rohis inilah bapak ibu guru mengetahui kemampuan pas-pasan dalam bidang agama yaitu membaca qiroah.
Menjadi duta sekolah dalam kegiatan perlombaan keagamaan pun pernah dipercayakan padaku. Tentu kau ingat itu kan?Â
Nah kalau dalam bidang keilmuan, aku banyak belajar darimu. Terutama ilmu eksak dan matematika. Aku tertinggal jauh dalam memahaminya. Sungguh aku malu kalau mengingatnya.
Dalam pelajaran seni, aku memilih Seni Musik, padahal aku buta dengan ilmu musik. Alasanku sederhana, aku ingin belajar menggitar. Sungguh alasan yang tidak pas dan itu akhirnya tak terwujud sampai saat ini. Konyol bukan?