Assalamu'alaikum. Pak guru, kula ngaturke ndherek bela sungkawa atas meninggalnya ibu nggih. Mugi-mugi almarhumah husnul khatimah. Keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran, ketabahan. Aamiin. Wassalamu'alaikum.(Pak guru, turut berduka cita atas meninggalnya ibu. Semoga almarhumah husnul khatimah).
Kukirimkan pesan itu lewat WA ke nomor kontakmu. Bukan tanpa alasan. Pertama, lama kamu tak membuat story atau mengirimkan link video saat kamu bernyanyi ria.Â
Kedua, ada kabar yang kuterima kalau ibumu meninggal dunia. Kabar itu aku ketahui dari mbakku yang mengirimkan screenshot foto kertas pawartos lelayu (berita duka). Ada namamu di sana.
Meski sebenarnya aku masih ragu, apakah nama yang tertera di kertas pawartos lelayu itu benar-benar dari keluargamu apa bukan. Maklumlah, aku tak begitu mengenal nama orangtua maupun saudara-saudaramu. Ke rumahmu pun hanya sekali. Entah kapan itu. Aku lupa.
Ketidakdatanganku untuk takziyah bukan karena lupa jalan menuju rumahmu. Namun lebih pada waktu yang tak memungkinkan. Maklum kabar itu mendadak kuterima. Lalu untuk minta izin kepada atasanku juga pekewuh(serba salah). Waktu itu aku baru beberapa minggu bekerja di tempat baru.
***
Sebelum kukirimkan pesan untukmu itu, aku memastikan kabar yang kuterima. Kutanyakan kepada temanku yang juga tetanggamu. Aku mengenalnya saat ada kegiatan pelatihan di Kaliurang.
"Mbak, ibune Ghozali sedo to?" (Mbak, ibunya Ghozali meninggal ya?).
"Iya."
"Gerah sepuh ya, mbak? Aku ora isa mangkat layat ikihhh".(Sakit karena sepuh ya, mbak? Aku nggak bisa melayat ini).