Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Seputar Kemerdekaan 1945 di Kampungku

12 Agustus 2022   04:14 Diperbarui: 12 Agustus 2022   04:19 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: r1.community.samsung.com

Diyan ting menyala redup di sudut surau kampung selepas shalat Isya dan tarawih. Kyai Marzuki bersama para pemuda masih berbincang. Sementara jamaah perempuan sudah pulang sedari tadi, bersama anak-anak mereka. 

"Jepang saiki wis entek-entekan," (sekarang sudah habis-habisan). Kyai Marzuki membuka perbincangan. Suasana surau terasa dingin. Angin berhembus pelan, membuat api pada diyan ting bergerak ke berbagai arah. Seirama dengan hembusan angin bergerak. Ya, nyala apinya diterpa angin. Wajah tua Mbah Marzuki kadang terlihat terang. Kadang gelap. Begitu juga para pemuda.

Tak berapa lama, dari luar surau terlihat sosok yang tadi Isya tidak terlihat ikut berjamaah shalat Isya dan tarawih. Beliau adalah dukuh di kampung itu. Entah mengapa beliau tak berjamaah seperti biasanya. Warga sering menyapanya Mbah dukuh.

"Awake dhewe dhilit maneh bisa ngrasakke bebas seka kumpeni lan Jepang." (Kita sebentar lagi bisa merasakan bebas dari kompeni dan Jepang).

"Nggih, Mbah dukuh. Kala wau Mbah Marzuki sampun ngendika."(Ya, mbak dukuh. Tadi Mbah Marzuki sudah bercerita).

Di kampung memang dua sosok itulah yang selalu memberi kabar perkembangan kondisi politik di Nusantara. Lewat surat kabar yang mereka baca kalau berkunjung ke negara. Negara itu istilah untuk ibukota provinsi.

"Alhamdulillah. Ayo padha ndedonga, supaya Gusti Allah paring pitulungan. Mumpung saiki wulan Ramadhan. InsyaAllah Gusti Allah ngijabahi."(Mari kita berdoa, agar Gusti Allah memberikan pertolongan. Mumpung sekarang bulan Ramadhan. InsyaAllah Gusti Allah mengabulkan doa kita).

"Aamiin. Nggih, Mbah dukuh."

***

Sementara nun jauh di sana, di kawasan Jakarta dan sekitarnya, juga banyak pembicaraan tentang kekalahan Jepang atas Sekutu. Golongan muda dan golongan sepuh memiliki perbedaan pendapat tentang bagaimana dan kapan Indonesia akan memproklamasikan kemerdekaan.

Golongan muda menginginkan kemerdekaan segera dilaksanakan. Sementara golongan sepuh masih menunggu "janji Jepang".

Akibatnya suasana tak nyaman. Akhirnya golongan muda mengamankan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya agar kedua tokoh itu tidak dipengaruhi oleh Jepang karena bisa membahayakan Indonesia jika terlambat dalam memproklamirkan kemerdekaan. 

Secara otomatis jika Jepang kalah dalam perang dunia kedua maka Indonesia akan dikuasai Sekutu. Jika sampai terjadi seperti itu Indonesia akan terus terbelenggu.

Bulan Ramadhan mulia di tahun 1945 diyakini akan menjadi berkah bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk lepas dari penjajahan. Masyarakat belum tahu bagaimana sikap Soekarno dan Hatta.

**

Dari Rengasdengklok, para pemuda membawa dua tokoh besar Indonesia, Soekarno Hatta, kembali ke Jakarta. Tepatnya ke rumah Laksamana Maeda.

Mereka berunding bagaimana proses proklamasi akan dilakukan. Pembuatan naskah proklamasi dilakukan dengan musyawarah. Tokoh-tokoh seperti Achmad Soebardjo turut berembug. Begitu juga Burhanudin Muhammad Diah, Soekarni, Soediro, dan Sayuti Melik.

Ketika berembug terjadi beberapa koreksi dalam susunan teks proklamasi. Soekarno sempat mencoret kalimat yang kurang pas.

Ilustrasi: viva.co.id
Ilustrasi: viva.co.id

***

"Akhire Indonesia merdeka, ndhuk. Tanggal pitulas Agustus (Akhirnya Indonesia merdeka. Tanggal tujuh belas Agustus)," Cerita ibuku saat aku masih SD. Ibu sendiri saat proklamasi kemerdekaan Indonesia baru berumur lima tahun. Namun ibu masih ingat kalau Mbah dukuh mengajak para warga kampung berkumpul di tanah lapang, depan rumah Mbah dukuh. Tentu untuk menyambut kemerdekaan yang sudah diproklamirkan Soekarno-Hatta.

"Warga kampung padha sujud syukur. Banjur semangat anggone ngendika Merdeka! Merdeka!"(Semua warga kampung sujud syukur. Lalu memekikkan kata Merdeka! Merdeka!). Itu kalimat pamungkas dari ibu tentang cerita proklamasi di tahun 1945 di kampungku.

**) Diyan ting: lampu tradisional. Biasanya dibuat secara sederhana. Bahannya dari gelas kaca besar atau kaleng bekas kemudian diberi minyak tanah atau jlantah(sisa minyak goreng yang sudah digunakan untuk menggoreng) dan diberi tali sumbu. 

Branjang, 11 Agustus 2022

#KPB Merdeka 2022 #cerpen jora #cerpen hari merdeka #17 Agustus 2022 #77 tahun Indonesia 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun