Surat dari BP4 sudah kukantongi saat ini. Kurasa berat untuk mengakhiri statusku. Ya, aku sudah menikah. Namun nasibku tak seperti orang yang menikah. Aku dan suamiku sudah sekian bulan tak bersama.Â
Dahulu, setelah beberapa bulan menikah, dia mengirimkan chat yang sangat mengagetkan dan membuat langit serasa runtuh. Aku menangis. Aku hanya mencurahkan isi hati kepada saudara-saudaraku. Setidaknya beban hatiku terasa lebih ringan.
Tentu kamu sangat penasaran, apa gerangan yang terjadi pada pernikahanku. Kamu memang salah satu teman terbaikku.Â
"Kamu setelah menikah kok jadi beda," chatmu.
"Aku baik-baik saja kok, Fit. Sehat," kusertakan emoticon tertawa. Untuk menetralisir prasangkamu itu. Aku tak ingin sahabat-sahabatku tahu apa yang terjadi. Dalam hati, aku membenarkan prasangkamu itu.
**
Chat pertama yang kuterima dari suamiku dan membuat hatiku hancur adalah pernyataan kalau dia ingin menjadi duda lagi. Kamu tahu sendiri kan kalau aku menikah dengan duda. Dia memiliki satu anak.Â
Aku menangis di hadapan saudaraku.
"Ya sudah, kamu cari suamimu. Bicarakan baik-baik solusinya." Kakak nomer tiga menasehatiku.
"Terus kamu ingatkan suamimu agar berhati-hati dalam berucap atau menulis chat di WA," tambah kakakku.
Memang yang namanya lelaki yang sudah beristri, dalam ajaran agama harus berhati-hati dalam mengucapkan kalimat yang menjurus pada kata cerai. Bercanda pun bisa menjadi sebuah bumerang bagi suami-istri.Â
Aku ingat perkataan bulikku, "Dulu kang Paijo sama mbok Jumikem harus ijab kabul lagi. Padahal mereka sudah sepuh begitu. Ya itu gara-gara kang Paijo guyon mau pisah."
Guru masa SMAku pun pernah mengatakan hal yang serupa. Waktu itu materi pelajaran tentang pernikahan. Judul materi pelajarannya tak kuingat betul. Namun konsep hubungan pasangan yang menikah itu selalu ada di kepalaku.
Berkebalikan dengan suamiku. Orang yang pernah gagal dalam pernikahannya dulu, ternyata tak memahami konsep itu. Dengan santainya dia mengatakan bahwa perkataannya tak menjurus pada kata perceraian.
***
"Aku masih sayang kamu, dik". Suamiku kini sering mengirimkan chat setelah setengah tahun lebih tak memedulikanku. Dia meninggalkan rumah di saat aku sakit. Bahkan aku dinilainya sedang melakukan drama.
Setelah tiga bulan meninggalkan rumah tanpa izinku, aku mulai menerima keadaan. Berdamai dengan jalan hidup yang harus kulalui. Semua yang kualami adalah jalan yang sudah ditentukan olehNya. Aku sudah melupakan sedihku. Nama dan nasib hidupnya tak kudoakan lagi.Â
***
Kemarin aku ke kompleks masjid kota bersama lelaki yang telah menikahiku. Pertemuan itu tak lagi membuatku berbunga-bunga. Rasa sayang telah memudar seiring berjalannya waktu.
Aku bertemu dengannya bukan untuk bersatu lagi. Aku minta keikhlasan untuk kugugat cerai. Aku sudah tak sanggup melanjutkan biduk rumah tangga bersamanya lagi.
Branjang, 17 Juni 2022