Andai aku adalah pasir putih di tepian samudera, bibir pantai. Tentulah aku dengan sukarela menjadi wahana bermain anak-anak. Membuat istana lengkap dengan benteng yang 'kan membuat nyaman penghuni istana. Aman dari ancaman.
Andai saja aku pasir putih, tentu takkan muncul protes demi protes jika manusia menuliskan namanya, atau kekasihnya. Lalu tersapu oleh deburan ombak yang menepi. Takkan juga merasa kesal atas jejak-jejak kaki atau alasnya saat menjejakkan di tiap butiranku. Aku akan berbahagia demi melihat anak yang bersorak-sorai, sejoli yang berbunga-bunga. Atau bahkan muncul empatiku pada mereka yang patah hati.
Nyatanya, aku bukan pasir putih. Tak bisa diperlakukan seperti pasir putih itu. Aku hanya manusia yang punya perasaan dan pikiran. Itu tak bisa didikte siapapun. Tak juga kau.
Branjang, 6 Juni 2022
*Untuk sosok yang sedang berjuang menemukan kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H