Bersitegang dengan orang tua, mungkin dialami banyak orang. Meski dalam agama anak dilarang bersitegang kepada orang tua. Bahkan mengucapkan "ah" pun dilarang.
Tentu semua larangan itu ada alasan. Dari orangtualah, seseorang bisa menjadi orang. Bagaimana tidak, ketika dilahirkan ke dunia tak ada satupun bayi yang bisa melakukan banyak hal.
Kesemuanya dipelajari dari lingkungan, terutama keluarga. Siapa lagi kalau bukan ibu dan ayahnya masing-masing. Merekalah madrasah atau sekolah/guru pertama bagi anak.
Lelah yang mendera, pusing karena tangis rewel anak, semua dijalani dengan ikhlas. Lagipula, khusus untuk ibu, rasa hamil dan melahirkan tak bisa dituliskan dan dilukiskan dengan tulisan atau gambaran tertentu.
Seiring berjalannya waktu, anak mulai belajar untuk merangkak, berdiri, berjalan selain belajar bicara. Akal yang terus berkembang jika tak diarahkan dengan baik maka bisa menciptakan anak yang nakal. Bahkan sampai si anak beranjak dewasa.
***
Konflik dengan orang tua pun pernah aku alami. Tepatnya dengan ayah.
Aku sangat kesal karena anak-anakku dimarahi ayah atau kakeknya. Kekesalan itu berawal dari adanya sisa buang air besar di ruang depan. Padahal aku yakin kalau anak-anak tak melakukannya.
Ayah marah-marah dengan suara menggelegar. Rasa kesal dan malu campur aduk. Aku bertekad, selepas itu, aku tak akan mengajak anak-anak ke rumah kakeknya.
***
Suatu malam, bakda Maghrib, terdengar pintu diketuk. Segera kubuka pintu. Kulihat lelaki sepuh, ayahku, di muka pintu. Meski hati kesal, kupersilakan masuk kakek anak-anakku.
"Ini, le. Aku bawakan cokelat," begitu sapa ayah pada anak ragilku. Dengan sigap si ragil meraih sebatang cokelat.Â
Si ragil menghampiriku. Disodorkannya coklat tadi.
"Makan coklatnya nggak usah banyak-banyak, le. Biar nggak sakit gigi," begitu ucap ayah pada cucunya.
Setelah kubuka coklat itu, dengan bibir penuh coklat, ragil menghampiri kakeknya dan bergelayut manja. Mungkin dia merasa kangen pada kakeknya.Â
Dari waktu ke waktu hubunganku dengan ayah membaik.
**
Kini, cara sama dilakukan ayah ketika kakakku lama tak mengunjunginya. Ayah rela hati, mengalah demi rukunnya keluarga.
Aku paham, ayah marah besar kepada kakak. Kesalahan kakak memang fatal. Tak hanya bagi ayah tapi juga keluarga.
"Jangan main mata, pikirkan anak dan suamimu!" Begitu pesan ayah kepada kakak dengan suara lantang ---beberapa waktu lalu---.
Branjang, 4 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H