Suatu malam, bakda Maghrib, terdengar pintu diketuk. Segera kubuka pintu. Kulihat lelaki sepuh, ayahku, di muka pintu. Meski hati kesal, kupersilakan masuk kakek anak-anakku.
"Ini, le. Aku bawakan cokelat," begitu sapa ayah pada anak ragilku. Dengan sigap si ragil meraih sebatang cokelat.Â
Si ragil menghampiriku. Disodorkannya coklat tadi.
"Makan coklatnya nggak usah banyak-banyak, le. Biar nggak sakit gigi," begitu ucap ayah pada cucunya.
Setelah kubuka coklat itu, dengan bibir penuh coklat, ragil menghampiri kakeknya dan bergelayut manja. Mungkin dia merasa kangen pada kakeknya.Â
Dari waktu ke waktu hubunganku dengan ayah membaik.
**
Kini, cara sama dilakukan ayah ketika kakakku lama tak mengunjunginya. Ayah rela hati, mengalah demi rukunnya keluarga.
Aku paham, ayah marah besar kepada kakak. Kesalahan kakak memang fatal. Tak hanya bagi ayah tapi juga keluarga.
"Jangan main mata, pikirkan anak dan suamimu!" Begitu pesan ayah kepada kakak dengan suara lantang ---beberapa waktu lalu---.
Branjang, 4 April 2022