Mungkin kau mau menepikan dan membuat kisah kita hanya sekadar peristiwa yang harus dikenang. Atau mungkin harus dikubur dalam-dalam.
**
Sebuah kertas berwarna merah hati bertuliskan namamu baru saja kuterima hari ini. Diantar oleh tetanggamu. Dia menepuk-nepuk pundakku, seakan berusaha menguatkanku. Dia memang tahu kisah kita.
Terus terang, hatiku bergetar saat undangan itu kuterima. Tak tahu, apakah hatiku akan kuat ke rumahmu. Untuk membuka undangan itu saja rasanya tak kuat.
"Sudahlah, Barata! Bukankah itu sudah keputusanmu, melepas Intan?" Batinku.
Kutata hatiku untuk menerima kenyataan. Namun untuk mencari penggantimu rasanya belum bisa. Aku tak mau, jika aku mendekati perempuan hanya karena alasan pelarian. Kasihan perempuan itu jika hatiku belum bisa melupakanmu.
Kupejamkan mata. Kenangan bersamamu memang harus dikubur dalam-dalam. Kembali kubuka mataku. Aku tersenyum dan membuka undangan yang masih kupegang.
"Intan, setialah pada suamimu. Dia yang akan mendampingi dan mewarnai sisa hidupmu. Aku bahagia melihatmu bersanding dan mengarungi hidup dengannya. Percayalah padaku," gumamku sambil memandang undangan darimu dan menghembuskan napas kuat-kuat.
Branjang, 15 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H