Belajar menulis puisi di sebuah grup penulisan puisi, membuatku merasa kecil hati. Namun kau membesarkan hatiku.
"Aku suka puisinya. Selalu ada kejutan kecil," komentarmu.
Aku hanya tersenyum. Kukira itu hanya sebuah kalimat untuk menghiburku agar tak putus asa dalam belajar menulis puisi.Â
Terus terang aku malah semakin minder saat kau menjelaskan perbedaan puisi dan cerpen. Memang aku lebih suka bernarasi dalam cerpen ketimbang puisi.Â
Aku tak punya diksi yang bagus seperti teman-teman grup lainnya. Hanya bermodal nekad, aku tetap bertahan di grup penulisan puisi.
Seharusnya aku bersyukur juga karena bisa belajar secara gratis dari banyak senior. Sayangnya aku yang tak bisa belajar dengan baik. Jadi, aku lebih senang menyimak daripada ikut nimbrung dalam berpuisi.
**
"Lah? Puisi kan nggak butuh konsep! Tulis aja sesukanya," komentarmu saat aku mengeluh kalau menulis sebuah puisi itu masih sulit bagiku. Tepatnya menanyakan konsep atau teori puisi.
Kamu tak tahu, betapa pusingnya aku dalam membuat puisi. Ah...aku jadi menyesal karena bergabung dalam grup penulisan puisi. Rasanya aku mau mundur saja. Left group.
"Pada prinsipnya kalau aku nggak mau keluar dari grup, mbak. Menghormati yang memasukkan dalam grup. Banyak teman, banyak rezeki." Terangmu, seolah memberitahu agar aku tak keluar dari grup.
"Ya udah, aku diajari teori muisi yang baik dunk!" Pintaku.
"Teori puisi? Gak tau! Kalau menulis, aku gunakan kerangka sederhana menjadi 3 bagian; Pembuka (ide/fenomena); Isi (ulahan rasa/asa/logika); Penutup (pesan)."
Ah ..kamu ini nggak paham kalau aku tak pernah paham juga. Tapi sudahlah, aku coba belajar lagi aja.
Aku kan seorang guru yang harusnya banyak belajar juga. Biar tak cuma bisa menasehati anak didik biar berlatih menulis.Â
"Aku kalau ngajari siswa kan yang sederhana. Maklum guru SD. Siswa bisa menulis puisi saja sudah seneng." Jiwa ngeyelku tetap saja muncul.Â
"Tentang olah kata berdasarkan rima, irama atau aneka majas, itu pembiasaan. Kukira, kalau terbiasa membaca dan menulis atau menulis dan membaca, maka hal itu akan auto." Jelasmu panjang lebar.
"Kalau rumusku, tulis - baca - tulis atau baca - tulis - baca. Jadi udah ditulis, dibaca lagi, terus kalau butuh edit, yo nulis lagi. Atau baca dulu karya orang buat mencuri ide, terus menulis, lanjut membaca lagi," lanjutmu lagi.
Pening juga ya jadi pemuisi itu. Ah, daripada pusing menulis puisi, lebih baik aku off dulu. Dengan menulis puisi, tulisan artikelku malah jadi ambyar. Sungguh menyedihkan!
**
"Sehari bisa nulis sepuluh puisi, kalau nggak tahu malu," ceritamu dulu.
Kini.
Omong-omong sudah berapa lama kamu tak nulis puisi?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H