Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Berkerudung Biru

11 Maret 2022   08:48 Diperbarui: 11 Maret 2022   08:54 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kulihat perempuan yang sibuk dengan tingkah polah dua putra dan dua putriku. Perempuan itu pasti lelah karenanya. Namun dia mencoba tersenyum di balik rasa capeknya.

Rumah berantakan, mainan putra-putriku selalu terlihat berserakan di lantai.

"Ya sudah. Dinikmati saja. Besok kalau mereka sudah gede juga bisa merapikan rumah. Membantu ibunya," ucap perempuan itu.

Perempuan itu, Ina namanya. Dia bukan asisten rumah tangga. Tetapi dia adalah ibu dari keempat buah hatiku.

"Pa, tolong jagain anak-anak. Aku mau masak dulu," pintanya.

Aku yang sedang genjrang-genjreng sambil membenahi nada-nada dari syair yang beberapa hari lalu kubuat, segera meletakkan gitarku.

Aku menghampiri keempat anakku yang aktif. Aku memang tak ingin kehilangan momen penting saat keempat anakku masih kecil dan menggemaskan.

Mainan yang berserakan kupungut satu, lalu kuajak bocah-bocah cilik itu menyusunnya menjadi beragam bentuk. Rumah-rumahan, robot dan lainnya.

Ah...aku jadi ingat saat aku masih kecil. Tak ada mainan mahal layaknya mainan bocah-bocahku itu. Kalau main rumah-rumahan biasanya dilakukan di depan sekolah. Di sana ada pasir kali yang bisa dibuat rumah-rumahan dengan bantuan potongan gedhek atau penggaris.

Kalau robot, dibuat dari tangkai daun ketela. Caranya cukup rumit. Dulu biasanya aku dibantu sama bapak untuk menyelesaikan robot zaman old.  

***

Ina sudah tertidur pulas. Sementara aku masih membenahi nada-nada agar lebih indah didengar. Tentu dengan suara lirih. Aku tak mau mengganggu istirahat Ina.

Dia adalah amanah besar bagiku. Dia dulunya dibesarkan dan dirawat kedua orang tuanya. Kini sudah jadi pendampingku. Sepuluh tahun sudah.

Sejak aku ijab kabul, seluruh tampuk bahagia-duka Ina adalah tanggung jawabku. Inginku, dia merasakan kasih sayangku. Meski tak bisa mengimbangi kasih sayang orangtuanya. Paling tidak, aku tak mau melukai hatinya. 

***

Kisahku dengan Ina sangat lekat di ingatanku. Bagaimana aku berjuang untuk mendapatkan hatinya.

Meskipun aku termasuk lelaki yang cukup sukses di dunia hiburan, itu tak menjamin hati Ina bisa kudapatkan. Namun karena wajahnya selalu terbayang di setiap langkahku, aku bertekad untuk mendekatinya.

"Dik Ina, maukah kau mendampingiku?" Tanyaku. Aku nekat menanyakan padanya.

Aku sudah dewasa, tak perlu mencari pacar. Jika sudah suka seorang gadis, ya sudah, tanpa basa-basi aku akan menanyakan apakah dia bersedia menjadi pendamping di sisa usiaku. 

Ternyata mendapatkan hatinya tak semudah yang kubayangkan. Modal wajah dan ketenaran bukanlah jaminan dalam masalah hati.

Akhirnya, aku menyerahkan segala urusan, termasuk hati Ina kepada Sang Khalik. Aku lebih baik mendekat pada Ilahi, untuk menenangkan hatiku. Kuyakin Allah akan memberikan jawaban terbaik untukku.

Hingga untuk kedua kalinya, dua bulan setelah dulu kutanyakan kesediaannya untuk jadi pendampingku, aku menanyakan hal yang sama lagi.

"Gimana, dik Ina?"

Gadis di hadapanku yang sering mengenakan pakaian dan jilbab biru itu bertanya, "Mas Candra apa serius? Kan di luar sana banyak perempuan yang ngefans sama mas Candra".

Aku tersenyum simpul. Ternyata dia tidak percaya diri dengan banyaknya gadis yang katanya mengidolakanku.

"Sudah, tak perlu dibahas perempuan-perempuan itu. Aku hanya butuh kepastian jawabanmu."

"Jawaban?" Tanya Ina menggantung.

Aku gemas sekali dengan gadis manis di sampingku itu.

"Baiklah. Aku ulang lagi ya, dik Ina. Maukah kamu menjadi pendamping hidupku?"

Hening. Hanya sapuan angin yang terdengar di taman rumah Ina. Sesaat kemudian pandanganku dan Ina bertemu. Dia tersipu malu.

Branjang, 10-11 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun