***
Ina sudah tertidur pulas. Sementara aku masih membenahi nada-nada agar lebih indah didengar. Tentu dengan suara lirih. Aku tak mau mengganggu istirahat Ina.
Dia adalah amanah besar bagiku. Dia dulunya dibesarkan dan dirawat kedua orang tuanya. Kini sudah jadi pendampingku. Sepuluh tahun sudah.
Sejak aku ijab kabul, seluruh tampuk bahagia-duka Ina adalah tanggung jawabku. Inginku, dia merasakan kasih sayangku. Meski tak bisa mengimbangi kasih sayang orangtuanya. Paling tidak, aku tak mau melukai hatinya.Â
***
Kisahku dengan Ina sangat lekat di ingatanku. Bagaimana aku berjuang untuk mendapatkan hatinya.
Meskipun aku termasuk lelaki yang cukup sukses di dunia hiburan, itu tak menjamin hati Ina bisa kudapatkan. Namun karena wajahnya selalu terbayang di setiap langkahku, aku bertekad untuk mendekatinya.
"Dik Ina, maukah kau mendampingiku?" Tanyaku. Aku nekat menanyakan padanya.
Aku sudah dewasa, tak perlu mencari pacar. Jika sudah suka seorang gadis, ya sudah, tanpa basa-basi aku akan menanyakan apakah dia bersedia menjadi pendamping di sisa usiaku.Â
Ternyata mendapatkan hatinya tak semudah yang kubayangkan. Modal wajah dan ketenaran bukanlah jaminan dalam masalah hati.
Akhirnya, aku menyerahkan segala urusan, termasuk hati Ina kepada Sang Khalik. Aku lebih baik mendekat pada Ilahi, untuk menenangkan hatiku. Kuyakin Allah akan memberikan jawaban terbaik untukku.