Kulihat perempuan yang sibuk dengan tingkah polah dua putra dan dua putriku. Perempuan itu pasti lelah karenanya. Namun dia mencoba tersenyum di balik rasa capeknya.
Rumah berantakan, mainan putra-putriku selalu terlihat berserakan di lantai.
"Ya sudah. Dinikmati saja. Besok kalau mereka sudah gede juga bisa merapikan rumah. Membantu ibunya," ucap perempuan itu.
Perempuan itu, Ina namanya. Dia bukan asisten rumah tangga. Tetapi dia adalah ibu dari keempat buah hatiku.
"Pa, tolong jagain anak-anak. Aku mau masak dulu," pintanya.
Aku yang sedang genjrang-genjreng sambil membenahi nada-nada dari syair yang beberapa hari lalu kubuat, segera meletakkan gitarku.
Aku menghampiri keempat anakku yang aktif. Aku memang tak ingin kehilangan momen penting saat keempat anakku masih kecil dan menggemaskan.
Mainan yang berserakan kupungut satu, lalu kuajak bocah-bocah cilik itu menyusunnya menjadi beragam bentuk. Rumah-rumahan, robot dan lainnya.
Ah...aku jadi ingat saat aku masih kecil. Tak ada mainan mahal layaknya mainan bocah-bocahku itu. Kalau main rumah-rumahan biasanya dilakukan di depan sekolah. Di sana ada pasir kali yang bisa dibuat rumah-rumahan dengan bantuan potongan gedhek atau penggaris.
Kalau robot, dibuat dari tangkai daun ketela. Caranya cukup rumit. Dulu biasanya aku dibantu sama bapak untuk menyelesaikan robot zaman old. Â