Aku terhenyak saat kamu mengucapkan kalimat itu. Sebuah ujaran yang menampar muka dan hatiku.Â
"Kamu kayak nggak punya iman saja, Cha!"
Aku memang sering curhat padamu kalau aku naksir seorang perempuan. Nama aslinya aku tak tahu. Hanya nama sapaan saja yang kutahu. Tami.
***
Aku meninjukan tangan ke dinding kamar. Mewakili perang batinku.Â
Aku mencintai perempuan yang sudah punya kekasih. Tak tanggung-tanggung, kekasihnya adalah sepupuku sendiri. Sungguh nelangsa.
Sebenarnya tak ada persaingan untuk mendapatkan hati Tami. Namun aku sangat kecewa, gebetanku sejak awal kuliah, malah jadi kekasih sepupuku. Rasanya tak ikhlas.
Saat nuraniku berkata, "Ada yang lebih baik dari Tami, Chaaa!"
Lalu dari sisi gelap hatiku seolah memerangi nuraniku. Ya, perang batin tengah berkecamuk di hatiku.
"Ayolah, Cha! Kamu lebih pinter, tampan dan orangtuamu kaya lagi! Cinta ditolak, dukun bertindak!"
"Hahhhh!" Teriakku sambil menghantamkan tanganku lebih keras. Membuat ibu buru-buru menuju ke kamarku.
"Ada apa, Cha?" Tanya ibu dengan mimik muka penasaran dan khawatir.
"Coba cerita sama ibu," lanjutnya.
Aku hanya menggelengkan kepala saat ibu menanyaiku, kenapa berteriak dan terdengar beberapa kali dinding berdentum dan bergetar oleh hantaman tanganku.
Ibu paham, dalam kondisi seperti ini merupakan tanda kalau aku tak bisa diajak bicara. Ibu hafal betul bagaimana aku. Aku yang keras kepala tapi menyadari kekeliruan yang kuperbuat beberapa hari kemudian.
Kuhempaskan tubuhku di kasur. Sambil memegangi tanganku yang sakit.
Kupejamkan mata. Tergambar jelas bagaimana masa kecil hingga remajaku. Aku dikenal sebagai seorang santri TPA terbaik di desaku. Waktu itu masih SD kelas II. Tidak sampai sebulan aku menuntaskan Iqra jilid 1 sampai jilid 6.
Beranjak remaja, aku membantu ustadz-ustadzah untuk membimbing santri yang belajar Iqra. Sebuah pengalaman berharga untukku.Â
Sampai SMA aku menjadi bagian pengurus Rohis. Hanya masa kuliah, aku lebih tertarik ke dunia tulis menulis. Tercatat namaku sebagai salah satu pengelola buletin kampus.
Kubuka kembali mataku. Kulihat di sudut kamar, ada Al Quran di sana. Aku bangkit dan menuju Al Quran itu berada.Â
"Kamu benar, Sinta. Aku seperti nggak punya iman." Batinku membenarkan perkataanmu.
**
Aku yakin akan keputusanku untuk menemuimu, Sinta. Seyakin-yakinnya bahwa kamu adalah perempuan yang lebih baik daripada Tami.
Tak ingin aku menunda untuk mengungkapkan isi hatiku. Kamu adalah orang yang mengertiku dibandingkan semua perempuan yang kukenal. Buktinya kamu bersikeras untuk membatalkan niatku ke orang pintar. Ya...aku mau mengandalkan ilmu hitam dari orang pintar itu. Kamu menyelamatkan akidahku, Sinta.
Rasanya lama juga tak menemuimu. Beberapa menit lagi aku kan menjumpaimu. Kubayangkan dan kupersiapkan gombalanku untuk mendapatkan hatimu.Â
Sesampai di depan rumahmu, aku merasa ada yang berbeda.
"Eh, mas Icha... kamu ke sini juga?" Teta, adikmu menyapaku dengan riang di depan gerbang rumahmu. Dia mempersilakan aku masuk ke rumah. Sementara ada banyak tamu di dalam rumahmu.
Aku masih bengong.Â
"Ayolah, mas Icha!" Seru adik centilmu itu seraya menarik tangan kananku.
"Pasti mbak Sinta senang banget, mas Icha ke sini. Menyaksikan mbak Sinta dilamar mas Ihsan."
Branjang, 5 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H