Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Makanan Mewah

1 Maret 2022   11:51 Diperbarui: 1 Maret 2022   11:54 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: merdeka.com

"Bune, kok lama nggak bikin tahu susur sama tempe mendoan? Aku kangen masakan itu je, bune," ujar suamiku saat di meja teras rumah hanya ada biskuit. Itupun sudah semingguan tak habis juga.

Terus terang aku sendiri juga pingin sekali bikin tahu susur dengan resep spesial dari ibu. Dulu, waktu ibu masih ada, ibu selalu menyiapkan tahu susur spesialnya di meja makan. Ya... tahu susur itu jadi lauk sederhana bagi kami yang hidup prihatin.

Tahu susur itu cara bikinnya cukup dibelah lalu diisi dengan potongan wortel, loncang, seledri, cambah kacang ijo dengan dibumbu. Lalu tahu yang diisi tadi dibaluri atau dicelupkan ke tepung terigu yang dituangi bumbu dan air secukupnya.

"Kita harus ngirit pengeluaran, pakne," jawabku singkat.

Suamiku yang duduk di kursi sebelah kiri meja mengernyitkan dahinya. Aku tersenyum kecut.

"Lha dulu pakne kalau kubikinkan juga cuma makan dua biji tahu susur sama sebiji mendoan." Ucapku dengan sedikit protes.

"Makan segitu 'kan sudah bisa ngganjel perut barang sebentar to, bune. Kan habis Maghrib kita langsung makan malam."

Hmm...suamiku rupanya nggak paham bagaimana rasanya membelanjakan uang dari gajinya dan gajiku yang tak seberapa. Mana anak-anak minta jatah uang jajan lima ribu perhari. 

Memang selama ini cukup sih. Dengan makanan seadanya. Tempe dan tahu selalu bergantian tampil di meja teras atau meja makan. Sesekali ayam atau ikan pindang atau bandeng presto mampir juga di meja makan.

"Kata temenku kalau menu begini terus bisa bikin darah tinggi, bune." Ucap suamiku, dulu, saat harga tempe dan tahu tak melambung seperti sekarang. Harganya tetap sama tapi ukuran tempe dan tahu zaman now menjadi susut, menjadi kecil-kecil.

Ibu-ibu di kampung juga mengeluhkan nasib tahu dan tempe yang mahal. Padahal minyak goreng sendiri juga masih tergolong agak mahal dari harga semula.

***

Kuambilkan sekeping biskuit ke arah suamiku. Dia menerima dengan ragu. 

"Kita musti sabar, pakne. Mungkin juga kita perlu menanam tumpang sari di kebonan. Menanam kacang tanah sama kedelai."

Kulihat suamiku menggigit biskuit pelan. Dikunyahnya dengan pelan. Aku tahu, dia memang tak begitu suka biskuit.

"Terus maksudmu gimana, bune?" Tanya suamiku, setelah menelan biskuit dan menyeruput kopi yang mulai hangat.

"Ya nanti kita bisa panen kacang sama kedelai. Terus, pakne bisa bikin tempe."

Suamiku melengos. Seperti dugaanku.

"Kok aku yang bikin," protesnya.

"Nanti aku bantulah, pakne. Siapa tahu kita bisa jadi juragan tempe."

"Halah, itu ide yang terlalu dipaksakan..."

"Tapi bisa jadi solusi kalau kita mau makan menu makanan mewah lho, pakne." Sahutku.

"Menu mewah apa maksudmu?"

Aku tertawa lepas.

"Njenengan 'kan tahu sendiri kalau sekarang itu tempe mahal. Berarti tempe dan tahu itu jadi menu mewah. Nggak bakalan bikin darting. Iya 'kan, pakne?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun