Rasanya di kabupaten tempat tinggalku tidak asing dengan nama dusun Melati. Dari cerita turun temurun para sesepuh, dusun itu menjadi cikal bakal pertumbuhan agama Islam di kabupaten kami.
Dari riwayat sesepuh, dulunya dusun itu merupakan hutan belantara yang dibabat oleh keturunan atau orang kepercayaan raja. Tentunya nama kerajaan itu tak dikenal dalam materi pelajaran anak-anak sekolah.
Yang pasti, peninggalan sejarah bercorak Hindu, Budha dapat ditemukan di dusun Melati dan sekitarnya. Tak ada orang yang berani mengambil peninggalan-peninggalan itu. Menurut penuturan sesepuh, bila ada orang yang nekat mengambil peninggalan baik berupa koin emas maupun bebatuan maka akan mendapatkan celaka. Bisa kualat. Begitulah ceritanya.
Dusun Melati pun dulunya terpengaruh budaya Hindu-Budha. Bebatuan banyak ditemukan. Namun kini tak ada lagi. Entah bagaimana cerita di balik hilangnya peninggalan Hindu-Budha.
"Masjid dusun Melati dulunya ada lingganya. Tapi karena belum melek sejarah dan betapa berharganya lingga itu, akhirnya lingga turut menjadi batu pondasi masjid dusun Melati."
Ada cerita lagi, dari pihak Dinas Kebudayaan menelusuri peninggalan bersejarah di dusun Melati dan sekitarnya. Oleh Dinas Kebudayaan, masjid dusun Melati pada akhirnya menjadi masjid cagar budaya.
Tanah untuk mendirikan termasuk lemah putih atau aset kerajaan. Namun bisa didirikan rumah-rumah warga.Â
"Aku nggak ngerti kok lemah putih bisa disertifikatkan atas nama orang" ujar seorang sesepuh kepadaku.
"Tetapi akhirnya, mereka harus mengembalikan tanah itu. Jadi, tanah di tundakan dusun itu bukan wakaf dari keluarga pak Bejo. Tapi mengganti lemah putih yang terlanjur menjadi rumah hunian anak cucu pak Slamet. Pak Slamet itu termasuk nenek moyangnya pak Bejo," lanjutnya.
***
Tahun ini kemungkinan menjadi tahun terakhir anak cucu pak Bejo menikmati bantuan dari pemerintah. Itu sudah menjadi catatan pihak kapanewon dan kalurahan.
Ya soalnya kalau anak cucu pak Bejo mendapatkan bantuan pemerintah, maka rasanya tidak pas juga. Tidak tepat sasaran. Anaknya masih usia produktif. Namun dia memiliki lima anak yang remagat (butuh dana besar). Itulah yang membuat isterinya hanya menunggu bantuan demi bantuan.
Pesan dari kalurahan, "saya harap dari dusun ini tidak ada lagi yang mendapatkan endhog-endhogan (bantuan pemerintah). Kan sudah bertahun-tahun dapat bantuan, kok nggak ada peningkatan."
Mantu pak Bejo hanya diam, tak berkutik saat mendengar pengarahan dari kalurahan. Pengarahan itu dilaksanakan saat pertemuan para ibu di balai dusun.
Aku sebagai pendengar yang sedikit tahu bagaimana keluarga di dusun Melati hanya menyimak sambil mengiyakan ujaran petugas dari kalurahan. Aku merasa ada orang yang lebih pantas mendapatkan bantuan.Â
Tak pantas jika anak keturunan pendiri dusun Melati kok hanya menengadahkan tangan terus. Rumahnya saja lumayan luas dan merupakan bangunan permanen.
***
Catatan: Hanya cerita fiktif. Bila ada kesamaan nama atau peristiwa, itu hanya kebetulan.
Branjang, 24 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H