"Aku dikasih kalung sama Mbah Uti, Bu? Beneran?" Aku tak percaya bahwa Simbah Uti memberikan kenang-kenangan untukku dan mbak Azza.
Simbah Uti itu sebutan dari aku, mbak Azza, adik dan saudara sepupuku untuk nenek.Â
Ibu hanya mengangguk. Ibu bercerita kalau Simbah Uti memberikan kalung itu saat mbak Azza dan aku masih bayi. Kata ibu, mbak Na, mbak Lis juga dikasih sama Simbah Uti.
"Lalu kenapa aku tak pernah melihat atau mengenakan kalung itu, Bu?" Mbak Azza ganti bertanya kepada ibu.
***
"Ibu memang sengaja menyimpan kalung itu, mbak Za dan mbak Fa..."
"Kenapa, Bu?" Aku terus bertanya.Â
"Biar kalian tidak terbiasa mengenakan perhiasan. Apalagi kalau masih bayi atau kecil..."
"Maksud ibu?"
"Menjaga keselamatan kalian dan kenang-kenangan dari Mbah Uti, ndhuk..."
**
Aku masih memprotes ibu karena tak pernah mengenakan kalung dari Simbah Uti.
"Kalau kalung itu kalian kenakan saat masih kecil, kalungnya bisa hilang. Dulu anting saja juga hilang kok. Kalian kan belum bisa menjaga barang kalian dengan baik. Uang jajan, pensil atau pulpen saja sering hilang 'kan?
Aku terdiam. Memang aku dan Mbak Azza sering lupa meletakkan atau menyimpan uang jajan, alat tulis atau mainanku.
Aku sangat menyesal dan menangis kalau sampai kehilangan atau lupa meletakkan barangku. Pasti aku lebih menyesal kalau kalung dari Simbah Uti hilang saat kukenakan lalu hilang.
***
"Seperti apa kalungnya, Bu?" Tanyaku lagi. Aku ingin sekali melihat kalungku.
"Kapan-kapan ya, ndhuk. Nggak usah khawatir, kalungnya tetap ibu simpan. Soalnya itu benda berharga dari Simbah Uti," ujar ibu sambil merangkulku dan mbak Azza.
"Oke, Bu!" Aku dan Mbak Azza mengangguk. Meski sebenarnya aku masih penasaran dengan wujud kalung dari Simbah Uti yang kini sudah di surga.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI