Memilihkan sekolah untuk buah hati adalah hal yang gampang-gampang susah. Ada banyak orangtua yang mendengar kelebihan-kelebihan guru dari sekolah tertentu hingga fasilitas ataupun gengsi.
Ada pula yang melihat, apakah anak si guru bersekolah di tempat orangtuanya mengajar. Jika melihat anak guru bersekolah di sekolah yang sama dengan tempat kerja ibu atau ayahnya, orangtua siswa mantap memasukkan anaknya di sekolah tersebut.
Jadi orangtua siswa beranggapan bahwa jika anak guru bersekolah di tempat kerja sang bapak atau ibu, artinya sekolah tersebut berkualitas. Tak mungkin seorang guru asal dalam memilihkan sekolah untuk buah hatinya.
Setidaknya itulah yang menjadi alasan klasik bagi orangtua dalam memilihkan sekolah untuk anak. Semuanya wajar dan tidak bisa dikatakan salah semua.
Siswa keluar masuk dari sekolah kami sudah menjadi sebuah hal yang biasa. Apalagi siswa sekolah kami ada yang berasal dari pondok pesantren.Â
Rata-rata siswa dari pondok ini memiliki masalah keluarga, broken home. Terkadang karakter siswa sulit sekali diatur. Meski sebenarnya tak semuanya seperti itu. Ada juga siswa yang patuh dan memang sengaja dipondokkan oleh kedua orangtuanya untuk belajar agama.
Pondok pesantren tersebut bekerjasama dengan sekolah kami dalam pembelajaran formalnya. Jadi guru-guru di sekolah jadi sedikit tahu bagaimana siswa dari pondok dan permasalahan mereka dan orangtuanya.
Siapapun pasti menghendaki keluarga yang selalu sakinah mawadah warahmah. Namun dalam kenyataan tak seperti yang diharapkan. Akhirnya anak harus merasakan kepahitan hidup.
Anak menjadi objek rebutan antara ayah dan ibunya yang sudah bercerai. Ada beberapa siswa yang semula dipondokkan oleh ibunya, lalu berakhir pada perebutan anak-anak.
Saya pribadi turut prihatin tentunya. Di saat anak nyaman belajar, namun karena perseteruan ibu dan ayahnya, belajarnya menjadi terganggu.
Alhasil, si ibu yang sudah menikah dan telah melahirkan anak lagi, harus melepaskan anaknya. Sering sang ibu mengirimkan pesan pribadi karena tak bisa bertemu anak, berkomunikasi dan tugas sekolahpun terbengkalai.
Pada akhir semester kemarin, mau tak mau si ibu melepaskan buah hati dan mengambil rapor sekaligus membuat pernyataan pindah sekolah.
Dalam menghadapi fenomena seperti itu, guru memang tak bisa ikut campur. Semua keputusan ada pada orangtua. Saya sendiri tak tahu, anak-anak sebenarnya ingin seperti apa. Ingin manut ibu atau ayahnya. Saya juga tak tahu.
Ketika pengambilan rapor dan membuat pernyataan pindah sekolah, si anak tak diajak serta karena memang si anak tak boleh bertemu sang ibu.
Ya, harapan saya sebagai guru yang juga menjadi seorang ibu, nasib para siswa, siapapun dia, bisa sukses melebihi orangtua dan gurunya. Satu lagi, mereka tetap bisa melanjutkan belajar agama yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H