Izinkan aku untuk sedikit menyesali kesalahanku. Meski itu sebenarnya tak boleh kulakukan. Semua yang terjadi sudah menjadi suratan takdir. Dan itu harusnya bisa kuterima.
Ya meski ada kalanya takdir itu bisa diusahakan agar lebih baik. Tetapi jika sudah terlanjur ya menyesal itulah langkah yang kupilih.Â
Namun, terlalu meratapi takkan kulakukan. Hidup harus terus berjalan bukan?
***
Dulu kala, saat kita masih belia saling mengenal. Tepatnya SD kelas III.Â
Kita mengenal lewat pesantren kilat di kampungmu. Kalau tak karena pesantren kilat itu mungkin kini kita asing satu sama lain.
Ah iya, rumahku terletak di sebelah selatan kampungmu. Meski jauh dari kampungmu, aku rajin ke masjid kampungmu untuk TPA. Ooops, tak hanya rajin lho, semangat banget!
Tentu kamu ingat kalau dulu ada temanku yang juga ikut TPA sering menjodohkan kita. Hahaha...
Kalau aku sih iyes dan bahagia saja kalau dijodohkan begitu. Padahal masih SD. Mungkin kamu belum mengenal rasa suka. Tapi tak apalah. Yang penting aku suka kamu!
Ada alasan untuk menyukaimu. Ngajimu lancar, suaramu merdu meski kadang kamu marah sama temanmu. Dan yang menggemaskan bagiku, tanda khas di pipimu. Lesung pipi yang muncul saat tersenyum. Rasanya ingin mencubitmu.
Meski aku bahagia karena dijodohkan sama teman-teman santri tapi aku tak berani terang-terangan ngomong ke kamu. Tak apalah. Yang penting aku masih bisa main atau TPA di rumahmu.
Waktu itu kan kadang TPA di rumah ustadz favoritku, pak Rifan. Iya, beliau bapakmu. Karenanya aku senang saja saat TPA dipindahkan ke rumahmu itu. Apalagi sering diberi minuman dan snack ringan. Itupun yang menyuguhkan ya kamu! Dijamin aku senyum-senyum sendiri ketika pulang ke rumah.
***
"Kamu sekarang kerja di mana, Klas?" Tanyamu setelah berpuluh tahun tak bertemu dan ngobrol. Hatiku yang menyimpan perasaan sedari kecil bergetar.
"Di sini," jawabku asal saja. Entah kenapa kulakukan itu. Padahal akan lebih baik dan menenangkan hatiku kalau aku jujur.
Saat itu kamu terlihat kesal. Kukatakan hal yang sama saat kamu mengulangi pertanyaanmu itu.
Tak lama kamu pergi dari hadapanku.
"Kamu ditanya kok jawabnya ketus begitu sih?" Rendra ---teman kita saat nyantri dulu dan tahu bagaimana perasaanku padamu--- heran dengan sikapku padamu.
"Ntar nyesel lho kamu," ucapnya lalu meninggalkan aku.
***
"Mukhlas kecil..."Â
Kubaca chat yang masuk ke kontak isteriku. Ya kamu dan isteriku berteman baik. Bahkan kuliah penyetaraan bareng.
Tadi siang isteriku mengunggah foto lelaki kecilku, Ilyas, di story WAnya. Dan itu kamu komentari "Mukhlas kecil..."
Aku yang memegang HP istriku langsung saja membuka dan membalas chat-mu itu.
"Apa iya, Bu? Tahuku pas mas Muklas sudah perjaka..." ketikku saat membalas chat itu.
Kulihat kamu mengetikkan balasan lagi. Tak lama tampilkan di layar HP istriku.
"Ingatku dulu ya kaya Muklas. Kalau perjakanya ya gituuu..."
Aku tertawa.Â
"Ada apa, mas Mukhlas? Kok ketawa sendiri..." selidik isteriku yang baru saja selesai memasak.
Kuserahkan HP padanya.Â
"Dasar iseng melulu kamu, mas! WAku dibuka trus dibalesi..." istriku menggerutu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H