"Yang penting kamu jangan terlalu mengagungkan perempuan yang belum tentu menjadi jodohmu, Ki."
Kamu tergelak.
"Namanya baru mabuk cinta, Ra..."
***
Kini kita bertemu lagi. Bukan dalam suasana bahagia seperti saat aku mengejekmu, atau saat kamu mabuk cinta.
Kita bertemu lagi dalam suasana yang tak kita harapkan. Saat semua terasa terlambat untuk sebuah pengakuan.
Kamu terlambat menyatakan rasamu. Diriku pun terlambat mengetahui isi hatimu. Tetapi aku perempuan, tak mungkin mendahului ungkapkan rasa.Â
Rasa takutmu melintasi luweng Ngingrong dahulu kuyakin karena alasan itu. Setelah kamu tanyakan fungsi hati lalu mengucapkan lirih jawabannya.
"Hati yang kutanya bukan dalam materi pelajaran. Tapi hati itu untuk menyimpan rasa dan sebuah nama abadi. Dan itu adalah kamu, Ra." Suaramu bergetar.
Aku terkejut. Hatiku tak percaya.Â
***