Duduk di kelas yang sama saat kelas X dan XI adalah pengalaman berharga denganmu. Paling tidak, kita saling melengkapi meski bukanlah sepasang kekasih.
Aku sendiri tak pernah membayangkan bisa dekat denganmu. Kamu adalah siswa yang cerdas. Sementara aku adalah siswa yang masuk ke sekolah kita karena ada calon siswa yang mengundurkan diri. Artinya, aku dulunya calon siswa baru cadangan.
Rupanya nasib baik berpihak padaku. Kuyakin semua karena doa ibu. Sepanjang sepertiga malam ibu selalu shalat tahajud.Â
Aku tak tahu sejak kapan ibu melaksanakan shalat tahajud itu. Yang jelas untuk melaksanakannya sangat berat. Harus bangun malam hari, di saat udara dingin dan mata rapat dipaksa untuk terbuka.
***
Tahun ketiga di sekolah ini kita pisah kelas. Ya karena kecerdasan beda. Kamu masuk kelas IPA dan aku di kelas IPS. Sebuah kenyataan yang dulu sudah kuperkirakan. Karena sejak kelas X dan XI kamu memang jago di mata pelajaran eksakta. Nah kalau aku bisanya hanya di mata pelajaran hafalan.Â
Di kelas X dan XI aku benar-benar tergantung sama kamu untuk mengerjakan PR. Kalau tugas di sekolah ya sama juga sih. Heheheh.Â
"Aku nanti pinjem catatan Sejarah-mu ya, Nis...", ucapmu sebelum Bu Indri memulai pelajarannya.Â
"Siap, bosss...", ucapku sambil tertawa. Ah iya kamu pernah berceloteh iseng ketika aku tertawa katamu pipiku bolong. Kupukulkan pelan buku yang kupegang ke lenganmu.
"Ini lesung pipi tau!" Sungutku. Ganti kamu yang tertawa.Â
**