Yang akan saya ceritakan kali ini adalah tentang pengalaman saat pertama kali saya mengajar di SD swasta. Alhamdulillah sampai saat ini saya masih mengajar di SD ini.
Saya mengajar pertama kali tahun 2005, tepatnya bulan Juli. Bersamaan dengan mulainya saya bekerja, ada juga seorang PNS dari Kemenag yang diperbantukan di sekolah tempat kerja saya. PNS itu lelaki yang masih muda tetapi sudah berkeluarga. Putranya satu.Â
Guru lain yang mengajar di sekolah kami termasuk guru yang mengajar saat saya masih SD dulu. Rasanya luar biasa bahagia ketika bisa sekantor dengan mereka.
Sebagai seorang junior saya tentunya menjaga diri agar tidak aneh-aneh selama di kantor. Saya pernah ingat seorang siswa yang bercerita di rumahnya kalau guru yang paling ganteng itu pak X, dan yang paling cantik itu saya.Â
Saya tertawa saat diceritai orangtuanya. Ada-ada saja. Padahal saya biasa saja. Mungkin karena guru lain sudah sepuh, jadi guru yang paling muda dianggap paling cantik.
Dalam ketugasan saya, sekolah mempercayakan mata pelajaran IPS, karena waktu itu masih KTSP. Selain itu saya dipercaya untuk menjadi salah satu pembina kepanduan di sekolah bersama pak X.
Saya tentu menyanggupi meski sebenarnya kurang memahami dunia kepanduan. Dengan modal bismillaah dan bantuan pak X saya menjadi pembina beberapa semester.
Karena seringnya berkomunikasi dan saya sering SMS pak X ---waktu itu komunikasi yang paling ngetren ya SMS--- saat saya baru ada jadwal mengajar di sebuah SMP. Ya waktu itu saya mengajar di dua tempat.
Maklum waktu itu beban mengajar masih 18 jam pelajaran perminggu. Tak seperti saat ini di mana beban mengajar perminggunya 24 jam pelajaran.
Pernah satu kali saya SMS pak X karena ada rapat mendadak di SMP. Tak berapa lama ada balasan SMS. Ternyata yang membalas SMSnya adalah istri pak X.
"HPnya ketinggalan, mbak," balasan dari istri pak X. Istri pak X memang biasa menyapa saya dengan sapaan mbak.
Sempat merasa tak enak hati juga. Namun saya terpaksa SMS pak X karena waktu itu guru-guru lain belum memiliki HP. Jadi pada saat awal mengajar, guru yang memiliki HP baru saya dan pak X.
Karena tak enak hati, saya minta maaf lewat SMS juga. Selain itu saat jadwal mengajar di SD saya juga minta maaf kepada pak X.
Mulai sejak saat itu, saya kalau SMS atau WA pak X selalu menggunakan bahasa Jawa krama alus. Khawatir kalau misalnya menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Saya khawatir kalau dikira terlalu dekat dengan teman kerja.
Ya...saya menempatkan diri sebagai seorang perempuan yang jika disakiti maka pasti sakit hati dan sedih. Saya tak mau merasakan sakit hati dan kepedihan karena sebuah hubungan diganggu oleh pihak ketiga. Alhamdulillah hubungan saya dengan istri pak X juga selalu baik.
Saya sering bercerita dan berterus terang kepada guru-guru lain kalau menghubungi pak X pasti menggunakan kalimat atau ukara yang halus. Demi menjaga istri pak X. Bahkan sampai saat ini saya masih melakukannya. Itupun jika terpaksa mengirimkan pesan baik tugas anak maupun ketugasan kantor lainnya.
Saya berusaha untuk tidak menciptakan suasana kantor yang dibumbui kisah nyleneh atau perselingkuhan. Prinsip saya, guru harus menjadi contoh yang baik bagi siswa dan lingkungan. Apalagi saya sudah menikah dan dikaruniai tiga buah hati, tentunya saya lebih memilih bersama keluarga tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H