Asep Widodo. Aku ingat nama lelaki yang beranjak remaja dan membantu bapaknya mluku atau membajak sawah.Â
Lelaki itu tak menyapaku. Seperti dulu, meski masih kuajar, dia tak menyapa atau tersenyum padaku. Tanpa ekspresi. Saat teman-temannya berlarian di kelas, matanya hanya mengikuti arah temannya berlari.Â
Dia memang siswaku yang unik. Dia mampu belajar tetapi lebih banyak diam selama di kelas. Meski dia siswa yang cukup anteng dan tidak ngrusuhi teman-temannya, dia tetap menjadi sasaran bully-an.
Karenanya aku sering duduk di sampingnya. Tak tega rasanya melihat dia diperlakukan tidak baik oleh teman-temannya.
Hingga suatu saat, dia tak masuk sekolah. Kutanyakan pada siswa yang rumahnya berdekatan dengannya. Teman sekelasnya juga kutanyai. Khawatir kalau dia dibully lagi hingga takut dan kapok ke sekolah.
"Dia ikut ke pasar, Bu guru..."
Lain hari alasannya berbeda.
"Dia ikut ke sawah, Bu..."
Aku menjadi penasaran, apa gerangan yang terjadi dengan Asep? Bersama satu guru, aku ke rumahnya. Bertemu dengan orangtua dan pakliknya yang selalu dibanggakan.
Waktu itu Asep masih mau menemui kami. Kami dibantu paklik Asep untuk membujuk dan merayunya. Ya biar dia masuk sekolah lagi.
Anggukan kecil kulihat dari Asep. Lega rasanya. Anak bangsa itu kembali bersemangat sekolah.